(disadur dari Rumah FIlm)
Apakah Yogyakarta hanya Malioboro, Wijilan, Tugu, dan desa-desa bersawah luas? Tentu tidak. Untuk pilihan tempat makan kaki lima, Anda bisa mengunjungi UGM Boulevard di wilayah utara. Pasar Beringhardjo, di Malioboro, memang merupakan salah satu pilihan tempat berbelanja, namun bukan satu-satunya. Barang bekas bertumpuk di Pasar Klitikan, barang-barang kerajinan berbahan rotan di Godean, atau batik di Imogiri dan Taman Sari. Bahkan komplek pelacuran, entah legal atau tidak, bukan hanya Pasar Kembang di Malioboro, tetapi juga di Kotagede.
Tugu memang menjadi landmark kota pelajar ini, tetapi penggambarannya dalam sejumlah film kerap menimbulkan kesan bahwa pembuatnya perlu cara cepat untuk menunjukkan bahwa kota yang diceritakan adalah Yogyakarta. Bersama Pasar Kembang, Malioboro dan Wijilan, lokasi-lokasi itu menguasai lanskap kota Yogyakarta dalam film Indonesia.
Lihat misalnya Mengejar Mas-mas (Rudi Soedjarwo, 2006). Dalam film ini, lokasi-lokasi tersebut tampil sesuai dengan kenyataan, tetapi keliru dalam mewakili kehidupan kota Yogyakarta. Shanaz (Poppy Sovia) tiba di Stasiun Tugu tanpa membawa uang. Bagi saya, ganjil rasanya melihat Parno (Dwi Sasono), pengamen dan penduduk kota asli, membawa Shanaz makan gudeg di Wijilan dan digambari karikaturnya oleh seniman jalanan. Kegiatan ini memerlukan biaya yang mahal apabila diukur dengan standar Yogyakarta. Apalagi mengingat Parno hanyalah seorang pengamen dan, saya ulangi, Shanaz tidak membawa uang sama sekali. Mereka kemudian menghabiskan hari di desa bersawah luas dan berpemandangan indah � yang bagi saya adalah salah satu bentuk eksotisme.
Tak jauh berbeda, adalah Cerita Yogya, karya Upi Avianto dalam omnibus film Perempuan Punya Cerita (2008), produksi Kalyana Shira. Yogyakarta digambarkan Upi melalui Malioboro, Wijilan, Tugu, dan Stadion Kridosono. Yang terakhir ini adalah tempat muda-mudi dalam filmnya menghabiskan waktu luang. Stadion Kridosono hanya akan Anda temukan ramai saat konser musik, bukan pertandingan sepak bola, apalagi tempat nongkrong anak-anak muda.
Cerita Yogya juga menceritakan tentang sebuah warung internet (warnet) yang menyediakan bilik untuk berhubungan seks jangka pendek beserta penjaganya yang selalu terlihat membaca koran merah atau buku stensil. Sekelompok anak-anak pria yang nongkrong di warnet itu, digambarkan mencari film porno di Malioboro. Apabila Anda ke Malioboro, Anda tidak akan menemukan satupun penjual CD/VCD/DVD.
Masalahnya adalah, pembuat film mencari jalan pintas untuk menunjukkan bahwa lokasi dalam filmnya adalah Yogyakarta. Peminjaman tempat sepintas beserta bagian-bagian yang ada di tempat tersebut sambil lalu, dalam film, seperti yang dilakukan beberapa pembuat film pada contoh di atas disebut visit filmmaking (atau tourism filmmaking). Sebenarnya sah saja sebuah film menampilkan apapun yang diinginkan pembuatnya, tidak harus sesuai dengan keadaan di luar film�toh ini bukan dokumenter�selama logika penonton akan film dan ceritanya dikonstruksikan dengan baik sejak awal.
Eksotisme menjadi kata kunci dalam hal ini. Coba lihat beberapa adegan terakhir 3 Hari untuk Selamanya (Riri Riza, 2006), tentang perjalanan Yusuf (Nicholas Saputra) dan Ambar (Adinia Wirasti) menuju rumah nenek mereka di Yogyakarta. Setelah mereka berputar-putar selama tiga hari �seharusnya hanya setengah hari, mungkin untuk mencapai durasi film layar lebar yang umumnya kurang lebih 100 menit� sampailah mereka di rumah sang nenek yang modern secara arsitektur dan interior. Rumah nenek memang tidak harus rumah joglo dan kuno, tapi sangat klise ketika isinya penuh dengan barang-barang nonfungsional nan eksotis. Tatanan rumah yang dipenuhi dengan perabotan eksotis ini tidak punya relevansi apapun dengan cerita.
Tak berbeda dengan lokasi, manusia di dalam film-film ini juga digambarkan dengan steroetipe. Cerita Yogya menggambarkan muda-mudi Yogyakarta sebagai manusia-manusia banal dan binal. Film diawali dengan seorang perempuan berseragam SMU, marah dan setengah berteriak di depan orang banyak, meminta pertanggungjawaban seorang pria, berseragam juga, karena temannya yang adalah pacar pria itu hamil. Si pacar menolak, karena toh perempuan itu �digilir� bersama teman-temannya yang lain.
Kumpulan anak muda ini terasa ganjil�bagi saya�karena beberapa siswa SMU yang saya kenal ternyata masih menemukan kesulitan untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya kepada lawan jenisnya. Beberapa dari anak perempuan SMU di Yogyakarta memang ternyata sudah bertunangan atau dijodohkan orangtuanya, tetapi ketika menghadapi pria yang disukainya, pipi mereka masih memerah karena malu. Walaupun anak-anak perempuan itu juga bermain biliar, pergi ke klub-klub malam, dan (beberapa) merokok (diam-diam), mereka masih saling mendiskusikan balasan SMS untuk teman pria yang sedang disukai atau pacarnya.
Bisa saja kelompok anak muda yang kesehariannya bukan hanya membicarakan dan bercanda tentang hubungan seks, tetapi juga memraktikkannya tanpa perasaan malu dan bersalah, dalam Cerita Yogya itu benar-benar ada di Yogyakarta. Masalahnya film pendek yang ditulis oleh Vivian Idris ini tidak berhasil membuat saya merasa bahwa kumpulan anak muda ini berada dan berasal dari Yogyakarta.
Skenarionya terasa pretensius. Di dalam kamar hotel Jay (Fauzi Baadila), Safina (Kirana Larasati) dengan senyum lugu-tapi-nakalnya mengatakan bahwa ia dan teman-temannya tidak seperti anak-anak Jakarta yang harus check in (ke hotel) untuk berhubungan seks. Adegan berlanjut ke sebuah kamar, yang dari luar terdengar jelas suaranya, dimana sepasang remaja sedang melakukan hubungan seks. Di luar kamar ada beberapa pasang muda-mudi yang berkumpul sambil bermain Play Station, bermesraan, bersenda-gurau, merokok, dan minum minuman keras. Seorang ibu berjilbab, yang adalah ibu pemilik rumah yang mereka tongkrongi, lewat sambil berbasa-basi ramah dengan mereka�lucu bagi saya, karena saya, seorang perempuan dewasa, merokok di lobi pascasarjana sebuah kampus saja hampir selalu menjadi pusat perhatian dan dipandangi dengan seksama, dari sepatu hingga rambut, oleh para perempuan berjilbab yang lalu lalang.
Mengejar Mas-mas menggambarkan lingkungan pertetanggaan di Yogyakarta, di daerah pelacuran Pasar Kembang, maupun di sekitar rumah tinggal Ningsih alias Norma (Dinna Olivia). Ibu-ibu tetangga Ningsih digambarkan bodoh dengan perlu diberitahu akan keberadaan Menteri Negara Urusan Perempuan. ��ndak boleh percaya 100% sama suami! Jangan takut masalah hak wanita! Lha wong sekarang ini, sudah ada departemennya sendiri loh, untuk urusan wanita� Iya! Ada menterinya juga loh! Eh, menterinya itu wanita, lagi!� demikian penjelasan Ningsih yang mengaku berprofesi dosen kepada sejumlah tetangganya yang manut saja. Demikian cara film ini menggambarkan lingkungan Yogyakarta yang dihuni oleh wong �ndeso, padahal daerah tempat Ningsih tinggal adalah sekitar Malioboro, pusat kota.
Guntur Soehardjo dalam karyanya Otomatis Romantis (2008) secara tidak langsung mengamini stereotipe penduduk Yogyakarta yang dibangun oleh film-film sebelumnya, bahkan tanpa perlu menggunakan latar kota Yogyakarta.
�Bambang yang orang Yogya itu?� tanya Nadia (Marsha Timoty), pemimpin redaksi majalah GAYA, pada penata busananya. Nadia marah besar saat tahu salah satu modelnya batal datang pemotretan dan si penata busana menggantinya dengan Bambang Setiadi (Tora Sudiro), pesuruh kantor. Anda akan sering menemukan kalimat tadi dengan nada yang variatif dalam film yang mengangkat tentang tema klise hubungan antara atasan dan bawahan ini.
Saya ingat bahwa kalimat itu selalu muncul, walau kadang dalam tatanan bahasa yang berbeda, saat Bambang sedang melakukan hal-hal yang tidak �kampungan�, seperti dipilih sebagai model untuk setahun dengan pemasang iklan di majalah tempat ia bekerja. Semua bermula ketika Bambang mengajukan diri untuk mencoba menulis artikel dalam majalah yang digambarkan mirip dengan Cosmopolitan ini. Ia mengaku pernah menjadi penulis sebelumnya di Yogyakarta, �kampung�nya. �� di majalah petani,� aku Bambang dengan muka sumringah dan logat medok yang tidak pas. Pernyataan Bambang ini membuat kota asalnya seakan-akan adalah desa, maka Bambang harus selalu �ndeso dan �kampungan�. Padahal sepenglihatan saya, Yogyakarta adalah sebuah kota.
Menurut hemat saya, Yogyakarta sebagai daerah urban disorot dalam Cerita Yogya dengan berlebihan. Penggambaran kehidupan seksual remaja dalam film ini tidak sama sekali merepresentasikan muda-mudi Yogyakarta. Walaupun sejumlah penelitian membuktikan bahwa Yogyakarta adalah kota dengan angka keperawanan pelajar paling rendah, rasanya kebudayaan Jawa yang kental tidak mengizinkan adanya kevulgaran yang sedemikian rupa dalam pergaulan sehari-hari.
Simak beberapa tokoh perempuan dalam film pendek, yang merupakan salah satu dari empat film, yang dinyatakan para pembuatnya sebagai film tentang, oleh, dan untuk perempuan ini:
(1) pemakai seragam putih abu-abu dan berjilbab yang asyik saja merokok di tempat umum tanpa dikomentari orang-orang sekitarnya, sementara seorang turis domestik yang merokok sambil berjalan di sepanjang Malioboro saja menjadi pusat perhatian;
(2) siswi SMU yang tetap nongkrong bersama orang-orang yang menghamilinya tanpa beban, padahal ia digambarkan panik akan kehamilannya, takut aborsi, sehingga akhirnya meminta dikawini; dan
(3) perempuan munafik yang berpikir logis, awalnya terlihat lebih berprinsip daripada yang teman-temannya, dan akhirnya menyerahkan keperawanannya pada seorang baru atas nama cinta, padahal ia tahu pemuda ini hanya pendatang yang tinggal di hotel, bukan kost (yang berarti sangat sementara).
Sedangkan tokoh-tokoh lawan jenisnya:
(1) pria SMU yang rela pacarnya �digilir� teman-temannya, namun takut ketahuan ibunya sedang berhubungan seks;
(2) pria berseragam putih abu-abu dengan wajah muda yang dengan bangganya memamerkan bahwa ia telah memerawani gadis berseragam putih biru, tetapi terlalu bodoh untuk menyadari bahwa ia dicurangi teman-temannya sehingga harus menikahi perempuan yang �digilir� tadi; dan
(3) pria yang menawarkan solusi mengawini perempuan hamil tadi dengan cara mengundi nama dalam kaleng bir bekas dengan alasan semua merasakan enaknya, tetapi tidak tahu apa itu Miyabi�alias Maria Ozawa, bintang film porno Jepang yang sangat populer.
Lain halnya dengan Cerita Yogya, Mengejar Mas-mas menggambarkan ekspresi kaget, takut, bercampur jijik di muka pemuda berprofesi pengamen di Malioboro itu pada saat Shanaz berkata �� gua udah bosen ngeseks!�. Film ini membangun stereotipe pemuda Yogyakarta. Lihat saja baju lurik dan blangkon yang selalu dikenakan Parno. Apabila Anda bertandang ke Yogyakarta, saya jamin Anda akan kesulitan menemukan pengamen muda di Malioboro mengenakan celana batik, apalagi baju lurik.
Parno juga dikenalkan sebagai pemuda bersepeda, yang memang sesuatu yang akan sering Anda temukan di Yogyakarta, yang terlalu bodoh untuk memperbaiki rem blong yang menyebabkannya jatuh�adegan ini memang lucu saat pertama kali muncul, tetapi untuk yang kedua dan ketiga, terlihat seperti penulis skenarionya, Monty Tiwa, kehabisan cara melucu. Parno dan pola pikir sederhananya juga digambarkan tidak punya harga diri. Sepulang berkencan, ia menemukan pacar Shanaz telah menunggu. Shanaz memperkenalkan Parno sebagai ojek sepeda yang telah membawanya berkeliling kota seharian, sehingga pacarnya kemudian memasukkan sejumlah uang ke dalam kantong Parno sebagai tanda terimakasih. Tanpa perlawanan dan ekspresi, Parno nrimo kemudian pergi.
Nrimo . Itulah respon yang saya dapatkan dari beberapa teman saya yang sudah lama menjadi warga Yogyakarta atas film-film ini, bahkan dari mereka yang penduduk asli. Mereka hanya tertawa dan mengatakan bahwa itu �bumbu� dalam film. Saya heran, karena saya, yang bukan orang Yogyakarta, merasa terusik melihat kota ini digambarkan dengan cara demikian. Apalagi membayangkan film-film ini ditonton oleh banyak orang yang kemudian �percaya� bahwa seperti yang diceritakan itulah wajah Yogyakarta. �Ih, masak sih Yogya segitunya?� komentar seorang perempuan paruh baya, dengan penampilan kantoran, di depan barisan yang saya duduki ketika menonton Perempuan Punya Cerita di Senayan XXI, Jakarta. Para pembuat film yang saya ceritakan di atas seperti kekurangan waktu penelitian dalam pembuatan skenario dan kekurangan dana produksi untuk menggunakan lebih banyak tempat. Sementara Daun di Atas Bantal (Garin Nugroho, 1998) berhasil membuat penonton merasakan Yogyakarta tanpa perlu mengeksploitasi lokasi-lokasi eksotis, film-film lainnya malah mengeksploitasi eksotisme untuk jalan pintas mengomunikasikan latar filmnya adalah kota Yogyakarta.***
Grace Samboh sedang menjalankan studi di Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, dengan jurusan Pengajian Seni Rupa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar