Rabu, 11 Maret 2009

Para Ahli Kubur dari Jombang

Oleh: Emha Ainun Nadjib



Tulisan ini saya bikin dengan asumsi dasar bahwa para pembaca percaya ada
Allah dengan kekuasaan-Nya. Di salah satu tayangan televisi, muncul seorang
kiai dengan nasihat sangat bijak, kurang-lebih begini: "Jangan minta kepada
Ponari, Ponari itu makhluk. Jangan minta kepada batu, batu itu makhluk.
Jangan berlaku syirik sehingga menjadi manusia musyrik. Mintalah Khaliq,
Allah Swt...."



Sangat pendek tapi cespleng. Media massa sangat mengerti kecerdasan
masyarakat, sehingga cukup pendek saja. Setiap yang mendengarkan fatwa itu
meneruskan sendiri dalam hati dengan logikanya: "Jangan minta kesembuhan
kepada dokter, dokter itu makhluk. Jangan minta kepada pil dan obat-obatan,
pil dan obat-obatan itu makhluk. Jangan berlaku syirik, sehingga menjadi
manusia musyrik."



Ya Allah ya Rabbi ya Karim, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah
air. Kalau Nabi Musa pegang tongkat, bersama pasukannya dikejar tentara
Firaun, mendapat perintah dari Allah, "Pukulkan tongkatmu ke air laut!"
Lantas laut terbelah, pasukan memasuki belahannya, kemudian Firaun dan
tentaranya mengejar ke belahan itu, namun tenggelam karena air menutup
kembali, mohon dengan sangat jangan simpulkan bahwa yang dipegang Musa itu
"tongkat sakti", sehingga Nabi Musa juga "Maha Dukun" yang sakti.



Mohon dengan sangat, jangan rumuskan bahwa tongkat Nabi Musa mampu membelah
laut, mampu menerbitkan mata air dari batu kering, meskipun insya Allah bisa
bikin pecah kepala kita. Apalagi lantas dengan metodologi ilmiah tertentu,
para pakar meneliti tongkat itu mengandung zat dan energi apa sehingga air
samudra terbelah olehnya. Kalau besok paginya Anda minta kepada Nabi Musa
untuk membelah air laut lagi, percayalah air laut tak akan terbelah. Sebab,
yang membuat laut terbelah bukanlah Musa atau tongkatnya, melainkan perintah
atau perkenan Allah.



*Lha* Allah ini pemegang saham dan *the only resources* dari seluruh "alam
semesta ini dengan segala ketentuan hukum dan perilakunya�. Hak absolut
Allah untuk menyuruh orang membelah laut dengan tongkat atau dengan
meludahinya. Kalau Musa pukulkan tongkat lagi ke laut tanpa perintah-Nya,
dijamin tak terjadi apa-apa. Atau besoknya Tuhan suruh Musa "Berteriaklah
keras-keras!", lantas tiba-tiba laut terbelah lagi ditambah gunung ambruk
dan air sungai membalik arah arus airnya, itu sepenuhnya terserah-serah
Tuhan.



Makhluk, juga dokter atau dukun, batasnya adalah mengobati atau menjadi
sarana proses menuju kesembuhan. Tapi pengambil keputusan untuk sembuh atau
hak dan kuasa untuk menyembuhkan ada pada Allah. Terserah Dia juga mau bikin
sembuh orang sakit pakai cara bagaimana dan alat apa. Bisa tongkat, bisa
batu, bisa air, bisa karena ditempeleng, bisa dengan apa pun saja semau-mau
Tuhan. Yang diperintah oleh Tuhan untuk menjadi sarana penyembuhan terserah
Dia juga. Mau kiai, pendeta, pastor, rabi, tukang sol sepatu, Ponijo, Rasul,
Nabi, Markesot, atau siapa pun dan apa pun saja. Kalau Anda dan saya tidak
setuju, Tuhan "tidak *patheken*" juga. Dia Maha Pemilik Saham segala sesuatu
dalam kehidupan, Dia berhak ambil keputusan apa saja.



Kalau seorang suami pergi lama tugas ke kota yang jauh, sehingga bawa celana
dalam istrinya, mohon jangan simpulkan bahwa dia penggemar celana dalam,
kemudian Anda coba rebut celana dalam itu untuk Anda selidiki, bahwa dia
mengandung zat-zat dan bebauan apa, sehingga seorang tokoh besar
membawa-bawanya ke mana pun pergi. Kalau pas di kamar hotel sendirian suami
itu mencium-ciumi celana dalam, mohon jangan dikonklusikan bahwa ternyata ia
punya penyakit jiwa dan harus dibawa ke psikiater. Ya Allah ya Rabbi ya
Karim, yang diciumi oleh suami itu bukan celana dalam, melainkan cintanya
kepada sang istri dan komitmen kesetiaan di antara mereka.



Wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, kalau saudara-saudaramu
naik haji dan berebut mencium Hajar Aswad, itu bukan karena mereka *
stone-mania* atau *ngefans* sama batu. Mereka sedang meneguhkan kesadaran
bahwa mereka sangat butuh Allah dalam hidupnya, maka mereka mengukuhkan
cinta kepada makhluk yang paling dicintai Allah, yakni Rasulullah Muhammad
Saw. Dan karena dulu Muhammad juga mencium batu hitam itu, padahal jelas
beliau tidak punya hobi makan batu, maka mereka menyatakan di hadapan Allah
cinta mereka kepada Muhammad. Mudah-mudahan dengan itu mereka kecipratan
cinta Allah kepada Muhammad, sehingga Allah memperlakukannya sebagai bagian
dari yang paling Ia cintai.



Kabarnya Nabi Musa ketika memimpin pasukan kejaran Firaun itu mendadak sakit
perut di tengah lari-lari. Musa mengeluh kepada Allah, dan Allah
memerintahkan agar Musa naik bukit ambil daun dari sebatang pohon untuk
menyembuhkan sakit perutnya. Musa naik dan, sebelum menyentuh daun, perutnya
sudah sembuh. Tolong jangan ambil konklusi "Itu daun mujarab banget, belum
disentuh, perut *udah* sembuh". Musa balik ke pasukannya, mendadak sakit
perut lagi. Ia langsung naik ke bukit, tapi sesudah makan sekian lembar daun
perutnya tak sembuh-sembuh juga. Musa protes kepada Allah. Dalam logika
saya, Allah menjawab dengan penuh kegelian: "Hei, Sa. Emang siapa yang
bilang bahwa daun bisa menyembuhkan perutmu? Meskipun daun itu mengandung
unsur-unsur yang secara ilmiah memang rasional bisa menyembuhkan perutmu,
Aku bisa bikin tetap tidak menyembuhkan. Tadi waktu sakit perut yang pertama
kau mengeluh kepadaku, tapi pada yang kedua kau tak mengeluh dan langsung
saja lari ke bukit ambil daun. Karena kamu salah cara berpikirmu. Salah
pandangan ilmu dan cintamu kepada segala sesuatu. Kamu salah peradaban. Kamu
pikir daun bisa menyembuhkan. Itu tergantung mau-Ku. Aku menyembuhkanmu bisa
pakai daun, air putih, batu, lewat Gaza, Tursina, Jombang, atau mana pun
semau-mau-Ku.... Berapa lama sebuah anugerah Kuberikan, itu rahasia-Ku, bisa
sesaat, sebulan, setahun, terserah Aku."



"Datanglah ke dokter, minta obat, sebagaimana ratusan juta orang telah
melakukannya. Datanglah ke kiai, bawa air putih. Atau datanglah ke mana pun
kepada siapa pun. Asalkan kau tak posisikan mereka semua pada maqam-Ku.
Engkau berlaku musyrik atau tidak, terletak tidak pada pil dan dokternya,
tongkat dan Musa, air dan kiai, atau batu dan siapa pun yang kutitipi batu
sejenak. Letak syirik ialah pada pola pandangmu, pada cara berpikirmu.
Jangan percaya kepada Ponari, Dukun, Ponari atau Kiai, tapi hormatilah
mereka, karena siapa tahu mereka adalah hamba-hamba-Ku yang Kutitipi sarana
untuk kesembuhanmu. Minumlah pil dokter dan air batu Ponari dengan kesadaran
memohon kepada-Ku...."



Tiba-tiba aku dibentak oleh sebuah suara: "*Ngurusi* Ponari *aja
nggak*becus! Mau sok-sok berlagak mengurusi NKRI!" Terperangah aku.
Terpaksa
kupotong di sini tulisanku ini, sebab aslinya panjang sekali. Kucari siapa
berani-berani membentakku. Tak ada siapa-siapa. Tapi malam di Kendari
menjelang aku tidur kelelahan usai bersalaman dengan ribuan undangan
pengantin anakku, bentakan itu datang lagi: "He! Perhatikan itu para ahli
kubur dari Jombang!" Ahli kubur? Aku tak *ngerti*.



"Kemarin pandangan-pandangan dan anggapan-anggapan dalam hidupmu dikubur
habis oleh mutilasi-mutilasi dari tangan seorang yang tersisih secara
sosial, yang menderita secara kejiwaan, yang terasing secara politik dan
sejarah. Sekarang kalian sedang dikubur oleh sebongkah batu yang nenek itu
menyebutnya Watu Gludug, yang dititipkan beberapa waktu kepada anak SLB yang
kesepian dan menderita tatkala dipindahkan ke SD. Pelajarilah hari-hari
besok dengan meluangkan waktu memperhatikan siapa saja dari tempat itu yang
tingkat ketersisihan dan keteraniayaannya lebih dahsyat...." Mendadak ada
suara lain yang membungkam suara itu: "*Husysy! Shut up*!" *



Emha Ainun Nadjib, budayawan

TEMPO Interaktif, Selasa, 24 Februari 2009 | 15:42 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar