(disadur dari Rumah FIlm)
Apakah Yogyakarta hanya Malioboro, Wijilan, Tugu, dan desa-desa bersawah luas? Tentu tidak. Untuk pilihan tempat makan kaki lima, Anda bisa mengunjungi UGM Boulevard di wilayah utara. Pasar Beringhardjo, di Malioboro, memang merupakan salah satu pilihan tempat berbelanja, namun bukan satu-satunya. Barang bekas bertumpuk di Pasar Klitikan, barang-barang kerajinan berbahan rotan di Godean, atau batik di Imogiri dan Taman Sari. Bahkan komplek pelacuran, entah legal atau tidak, bukan hanya Pasar Kembang di Malioboro, tetapi juga di Kotagede.
Tugu memang menjadi landmark kota pelajar ini, tetapi penggambarannya dalam sejumlah film kerap menimbulkan kesan bahwa pembuatnya perlu cara cepat untuk menunjukkan bahwa kota yang diceritakan adalah Yogyakarta. Bersama Pasar Kembang, Malioboro dan Wijilan, lokasi-lokasi itu menguasai lanskap kota Yogyakarta dalam film Indonesia.
Lihat misalnya Mengejar Mas-mas (Rudi Soedjarwo, 2006). Dalam film ini, lokasi-lokasi tersebut tampil sesuai dengan kenyataan, tetapi keliru dalam mewakili kehidupan kota Yogyakarta. Shanaz (Poppy Sovia) tiba di Stasiun Tugu tanpa membawa uang. Bagi saya, ganjil rasanya melihat Parno (Dwi Sasono), pengamen dan penduduk kota asli, membawa Shanaz makan gudeg di Wijilan dan digambari karikaturnya oleh seniman jalanan. Kegiatan ini memerlukan biaya yang mahal apabila diukur dengan standar Yogyakarta. Apalagi mengingat Parno hanyalah seorang pengamen dan, saya ulangi, Shanaz tidak membawa uang sama sekali. Mereka kemudian menghabiskan hari di desa bersawah luas dan berpemandangan indah � yang bagi saya adalah salah satu bentuk eksotisme.
Tak jauh berbeda, adalah Cerita Yogya, karya Upi Avianto dalam omnibus film Perempuan Punya Cerita (2008), produksi Kalyana Shira. Yogyakarta digambarkan Upi melalui Malioboro, Wijilan, Tugu, dan Stadion Kridosono. Yang terakhir ini adalah tempat muda-mudi dalam filmnya menghabiskan waktu luang. Stadion Kridosono hanya akan Anda temukan ramai saat konser musik, bukan pertandingan sepak bola, apalagi tempat nongkrong anak-anak muda.
Cerita Yogya juga menceritakan tentang sebuah warung internet (warnet) yang menyediakan bilik untuk berhubungan seks jangka pendek beserta penjaganya yang selalu terlihat membaca koran merah atau buku stensil. Sekelompok anak-anak pria yang nongkrong di warnet itu, digambarkan mencari film porno di Malioboro. Apabila Anda ke Malioboro, Anda tidak akan menemukan satupun penjual CD/VCD/DVD.
Masalahnya adalah, pembuat film mencari jalan pintas untuk menunjukkan bahwa lokasi dalam filmnya adalah Yogyakarta. Peminjaman tempat sepintas beserta bagian-bagian yang ada di tempat tersebut sambil lalu, dalam film, seperti yang dilakukan beberapa pembuat film pada contoh di atas disebut visit filmmaking (atau tourism filmmaking). Sebenarnya sah saja sebuah film menampilkan apapun yang diinginkan pembuatnya, tidak harus sesuai dengan keadaan di luar film�toh ini bukan dokumenter�selama logika penonton akan film dan ceritanya dikonstruksikan dengan baik sejak awal.
Eksotisme menjadi kata kunci dalam hal ini. Coba lihat beberapa adegan terakhir 3 Hari untuk Selamanya (Riri Riza, 2006), tentang perjalanan Yusuf (Nicholas Saputra) dan Ambar (Adinia Wirasti) menuju rumah nenek mereka di Yogyakarta. Setelah mereka berputar-putar selama tiga hari �seharusnya hanya setengah hari, mungkin untuk mencapai durasi film layar lebar yang umumnya kurang lebih 100 menit� sampailah mereka di rumah sang nenek yang modern secara arsitektur dan interior. Rumah nenek memang tidak harus rumah joglo dan kuno, tapi sangat klise ketika isinya penuh dengan barang-barang nonfungsional nan eksotis. Tatanan rumah yang dipenuhi dengan perabotan eksotis ini tidak punya relevansi apapun dengan cerita.
Tak berbeda dengan lokasi, manusia di dalam film-film ini juga digambarkan dengan steroetipe. Cerita Yogya menggambarkan muda-mudi Yogyakarta sebagai manusia-manusia banal dan binal. Film diawali dengan seorang perempuan berseragam SMU, marah dan setengah berteriak di depan orang banyak, meminta pertanggungjawaban seorang pria, berseragam juga, karena temannya yang adalah pacar pria itu hamil. Si pacar menolak, karena toh perempuan itu �digilir� bersama teman-temannya yang lain.
Kumpulan anak muda ini terasa ganjil�bagi saya�karena beberapa siswa SMU yang saya kenal ternyata masih menemukan kesulitan untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya kepada lawan jenisnya. Beberapa dari anak perempuan SMU di Yogyakarta memang ternyata sudah bertunangan atau dijodohkan orangtuanya, tetapi ketika menghadapi pria yang disukainya, pipi mereka masih memerah karena malu. Walaupun anak-anak perempuan itu juga bermain biliar, pergi ke klub-klub malam, dan (beberapa) merokok (diam-diam), mereka masih saling mendiskusikan balasan SMS untuk teman pria yang sedang disukai atau pacarnya.
Bisa saja kelompok anak muda yang kesehariannya bukan hanya membicarakan dan bercanda tentang hubungan seks, tetapi juga memraktikkannya tanpa perasaan malu dan bersalah, dalam Cerita Yogya itu benar-benar ada di Yogyakarta. Masalahnya film pendek yang ditulis oleh Vivian Idris ini tidak berhasil membuat saya merasa bahwa kumpulan anak muda ini berada dan berasal dari Yogyakarta.
Skenarionya terasa pretensius. Di dalam kamar hotel Jay (Fauzi Baadila), Safina (Kirana Larasati) dengan senyum lugu-tapi-nakalnya mengatakan bahwa ia dan teman-temannya tidak seperti anak-anak Jakarta yang harus check in (ke hotel) untuk berhubungan seks. Adegan berlanjut ke sebuah kamar, yang dari luar terdengar jelas suaranya, dimana sepasang remaja sedang melakukan hubungan seks. Di luar kamar ada beberapa pasang muda-mudi yang berkumpul sambil bermain Play Station, bermesraan, bersenda-gurau, merokok, dan minum minuman keras. Seorang ibu berjilbab, yang adalah ibu pemilik rumah yang mereka tongkrongi, lewat sambil berbasa-basi ramah dengan mereka�lucu bagi saya, karena saya, seorang perempuan dewasa, merokok di lobi pascasarjana sebuah kampus saja hampir selalu menjadi pusat perhatian dan dipandangi dengan seksama, dari sepatu hingga rambut, oleh para perempuan berjilbab yang lalu lalang.
Mengejar Mas-mas menggambarkan lingkungan pertetanggaan di Yogyakarta, di daerah pelacuran Pasar Kembang, maupun di sekitar rumah tinggal Ningsih alias Norma (Dinna Olivia). Ibu-ibu tetangga Ningsih digambarkan bodoh dengan perlu diberitahu akan keberadaan Menteri Negara Urusan Perempuan. ��ndak boleh percaya 100% sama suami! Jangan takut masalah hak wanita! Lha wong sekarang ini, sudah ada departemennya sendiri loh, untuk urusan wanita� Iya! Ada menterinya juga loh! Eh, menterinya itu wanita, lagi!� demikian penjelasan Ningsih yang mengaku berprofesi dosen kepada sejumlah tetangganya yang manut saja. Demikian cara film ini menggambarkan lingkungan Yogyakarta yang dihuni oleh wong �ndeso, padahal daerah tempat Ningsih tinggal adalah sekitar Malioboro, pusat kota.
Guntur Soehardjo dalam karyanya Otomatis Romantis (2008) secara tidak langsung mengamini stereotipe penduduk Yogyakarta yang dibangun oleh film-film sebelumnya, bahkan tanpa perlu menggunakan latar kota Yogyakarta.
�Bambang yang orang Yogya itu?� tanya Nadia (Marsha Timoty), pemimpin redaksi majalah GAYA, pada penata busananya. Nadia marah besar saat tahu salah satu modelnya batal datang pemotretan dan si penata busana menggantinya dengan Bambang Setiadi (Tora Sudiro), pesuruh kantor. Anda akan sering menemukan kalimat tadi dengan nada yang variatif dalam film yang mengangkat tentang tema klise hubungan antara atasan dan bawahan ini.
Saya ingat bahwa kalimat itu selalu muncul, walau kadang dalam tatanan bahasa yang berbeda, saat Bambang sedang melakukan hal-hal yang tidak �kampungan�, seperti dipilih sebagai model untuk setahun dengan pemasang iklan di majalah tempat ia bekerja. Semua bermula ketika Bambang mengajukan diri untuk mencoba menulis artikel dalam majalah yang digambarkan mirip dengan Cosmopolitan ini. Ia mengaku pernah menjadi penulis sebelumnya di Yogyakarta, �kampung�nya. �� di majalah petani,� aku Bambang dengan muka sumringah dan logat medok yang tidak pas. Pernyataan Bambang ini membuat kota asalnya seakan-akan adalah desa, maka Bambang harus selalu �ndeso dan �kampungan�. Padahal sepenglihatan saya, Yogyakarta adalah sebuah kota.
Menurut hemat saya, Yogyakarta sebagai daerah urban disorot dalam Cerita Yogya dengan berlebihan. Penggambaran kehidupan seksual remaja dalam film ini tidak sama sekali merepresentasikan muda-mudi Yogyakarta. Walaupun sejumlah penelitian membuktikan bahwa Yogyakarta adalah kota dengan angka keperawanan pelajar paling rendah, rasanya kebudayaan Jawa yang kental tidak mengizinkan adanya kevulgaran yang sedemikian rupa dalam pergaulan sehari-hari.
Simak beberapa tokoh perempuan dalam film pendek, yang merupakan salah satu dari empat film, yang dinyatakan para pembuatnya sebagai film tentang, oleh, dan untuk perempuan ini:
(1) pemakai seragam putih abu-abu dan berjilbab yang asyik saja merokok di tempat umum tanpa dikomentari orang-orang sekitarnya, sementara seorang turis domestik yang merokok sambil berjalan di sepanjang Malioboro saja menjadi pusat perhatian;
(2) siswi SMU yang tetap nongkrong bersama orang-orang yang menghamilinya tanpa beban, padahal ia digambarkan panik akan kehamilannya, takut aborsi, sehingga akhirnya meminta dikawini; dan
(3) perempuan munafik yang berpikir logis, awalnya terlihat lebih berprinsip daripada yang teman-temannya, dan akhirnya menyerahkan keperawanannya pada seorang baru atas nama cinta, padahal ia tahu pemuda ini hanya pendatang yang tinggal di hotel, bukan kost (yang berarti sangat sementara).
Sedangkan tokoh-tokoh lawan jenisnya:
(1) pria SMU yang rela pacarnya �digilir� teman-temannya, namun takut ketahuan ibunya sedang berhubungan seks;
(2) pria berseragam putih abu-abu dengan wajah muda yang dengan bangganya memamerkan bahwa ia telah memerawani gadis berseragam putih biru, tetapi terlalu bodoh untuk menyadari bahwa ia dicurangi teman-temannya sehingga harus menikahi perempuan yang �digilir� tadi; dan
(3) pria yang menawarkan solusi mengawini perempuan hamil tadi dengan cara mengundi nama dalam kaleng bir bekas dengan alasan semua merasakan enaknya, tetapi tidak tahu apa itu Miyabi�alias Maria Ozawa, bintang film porno Jepang yang sangat populer.
Lain halnya dengan Cerita Yogya, Mengejar Mas-mas menggambarkan ekspresi kaget, takut, bercampur jijik di muka pemuda berprofesi pengamen di Malioboro itu pada saat Shanaz berkata �� gua udah bosen ngeseks!�. Film ini membangun stereotipe pemuda Yogyakarta. Lihat saja baju lurik dan blangkon yang selalu dikenakan Parno. Apabila Anda bertandang ke Yogyakarta, saya jamin Anda akan kesulitan menemukan pengamen muda di Malioboro mengenakan celana batik, apalagi baju lurik.
Parno juga dikenalkan sebagai pemuda bersepeda, yang memang sesuatu yang akan sering Anda temukan di Yogyakarta, yang terlalu bodoh untuk memperbaiki rem blong yang menyebabkannya jatuh�adegan ini memang lucu saat pertama kali muncul, tetapi untuk yang kedua dan ketiga, terlihat seperti penulis skenarionya, Monty Tiwa, kehabisan cara melucu. Parno dan pola pikir sederhananya juga digambarkan tidak punya harga diri. Sepulang berkencan, ia menemukan pacar Shanaz telah menunggu. Shanaz memperkenalkan Parno sebagai ojek sepeda yang telah membawanya berkeliling kota seharian, sehingga pacarnya kemudian memasukkan sejumlah uang ke dalam kantong Parno sebagai tanda terimakasih. Tanpa perlawanan dan ekspresi, Parno nrimo kemudian pergi.
Nrimo . Itulah respon yang saya dapatkan dari beberapa teman saya yang sudah lama menjadi warga Yogyakarta atas film-film ini, bahkan dari mereka yang penduduk asli. Mereka hanya tertawa dan mengatakan bahwa itu �bumbu� dalam film. Saya heran, karena saya, yang bukan orang Yogyakarta, merasa terusik melihat kota ini digambarkan dengan cara demikian. Apalagi membayangkan film-film ini ditonton oleh banyak orang yang kemudian �percaya� bahwa seperti yang diceritakan itulah wajah Yogyakarta. �Ih, masak sih Yogya segitunya?� komentar seorang perempuan paruh baya, dengan penampilan kantoran, di depan barisan yang saya duduki ketika menonton Perempuan Punya Cerita di Senayan XXI, Jakarta. Para pembuat film yang saya ceritakan di atas seperti kekurangan waktu penelitian dalam pembuatan skenario dan kekurangan dana produksi untuk menggunakan lebih banyak tempat. Sementara Daun di Atas Bantal (Garin Nugroho, 1998) berhasil membuat penonton merasakan Yogyakarta tanpa perlu mengeksploitasi lokasi-lokasi eksotis, film-film lainnya malah mengeksploitasi eksotisme untuk jalan pintas mengomunikasikan latar filmnya adalah kota Yogyakarta.***
Grace Samboh sedang menjalankan studi di Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, dengan jurusan Pengajian Seni Rupa.
Senin, 29 Agustus 2011
Jumat, 26 Agustus 2011
Review Mudik ke Jogja naik Kuda Besi

Sekelumit cerita dari Heli yang selalu ceria
Mungkin sudah ratusan kali saya memaai jasa kereta api untuk balik ke jogja dari jakarta. Tidak hanya saat mudik saja lo, tapi juga saat libur sabtu-minggu. Tapi nampaknya ada yang berbeda mudik tahun ini, menurutku sih. Selain karena bisa pulang kampung H-3 Lebaran, saya memanfaatkan kereta api transit atau buan tujuan utama.
Tanggal 28 Agustus 2011 saya memutuskan mudik menggunakan kereta api Gajayana jurusan jakarta- Malang (Malang?, kan gwe mau ke Jogja). Jangan salah dulu, kereta ini nantinya akan berhenti sejenak di stasiun Cirebon, Purwokerto, Gombong, Yogyakarta, Solo Balapan, Madiun, Kediri, TulungAgung, Blitar, dan berakhir di Malang. Berangkat dari stasiun gambir pukul 17.30 WIB, tapi aku sudah menunggu di stasiun sudah dari jam 4 sore (set dah, lama banget).
Tapi menurutku sih, 1,5 jam menunggu di stasiun ga begitu lama, karena ada yg berbeda di stasiun gambir dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Apa saja itu ?
1. Ada hiburan Band-nya lo (yang nyanyi lumayan bikin ga ngantuk :), kadang bisa request juga lo, mau karokean juga bisa...wuidiiiih (full band cuy)

(Maaf motonya sambil nyuri-nyuri)
2. Diterapkannya sisitem buka tutup penumpang kereta
Jadi bagi penumpang yang keretanya belum siap, ga boleh nunggu diatas. yang boleh naik keatas bagi caon penumpang yang keretanya sudah standby (jadi lebih tertib sih)

(sebenarnya ga tertib-tertib amat sih, kelakukan penumpang indonesia emang susah dirubah. Kalau duduknya sudah PW susah dipindah...fiuuuh)
3. Aku rasa pengamanan stasiun jadi lebih ketat :)------> atau gara-gara sehari sebelumnya ada kereta api gajayana di bajak seorang marinir ya (waduuuuh).....makanya di perketat karena banyak media yang bersliweran... (sekalian narsis)

(campersnya indosiar sedang cari moment, "paaaak aku diwawncarai dong" :)
Aku rasa sih cuman itu saja yang membuat mudik ini terasa beda dengan tahun-tahun sebelumnya. tepat pukul 17.30 WIB kereta api Gajayana yang aku tunggangi berangkat (aku sih berharap ada drama pembajakan lagi, biar aku dapat moment langka------haiyaaaah)

Syukur Alhamdulillah, aku tiba di Jogja tepat Pukul 02.00 tgl 29 Agustus 2011...SELAMAT DATANG DI JOGJA TERCINTA

Tunggu, review perjalanan balik dari Jogja ke Jakarta tagl 6 September 2011 hanya di : www. malunanyadong.blogspot.com
Terima Kasih Cintaku..
By: M. Agus Syafii
Pernahkah ketika istri mengambil secangkir teh untuk anda dan anda mengucapkan kata mesra kepada istri anda, "Terima kasih cintaku.." Kemudian terlihat istri tersipu malu dibuatnya. Marilah para suami merenungkan, Apakah anda merasa bahwa istri anda adalah anugerah yang Allah berikan untuk anda? Bila kita menyadari istri adalah sebuah anugerah yang Allah berikan untuk kita maka kita akan memperlakukan dengan yang terbaik untuk istri kita sesuai yang Allah amanahkan, membimbingnya, menjaga dan mencintainya dengan setulus hati. Hanya dengan cara seperti itulah kita mensyukuri anugerah Allah. Sebagaimana Rasulullah telah mengingatkan kita, "Barang siapa mendapatkan nikmat, Allah senang melihat bekas-bekas nikmatNya itu pada diri hambaNya." (HR. Ahmad).
Kehidupan rumah tangga begitu sangat indahnya bila kita menghiasi dengan cinta dan kasih sayang. Suami istri saling mengasihi dengan kelembutan, tutur kata yang mesra. Sekali waktu bertengkar karena terkadang pertengkaran dibutuhkan sebagai bentuk dinamika dalam berumah tangga karena begitulah keindahan berumah tangga. Selain dengan menunaikan hak dan kewajiban yang melekat pada ikrar suci perkawinan, dengan memperlakukan dengan istimewa penuh dengan penghargaan, banyak hal yang kita bisa lakukan untuk mensyukuri nikmat Allah, salah satunya dengan menyatakan cinta kita kepada istri. "Dan adapun dengan nikmat dari TuhanMu, maka sampaikanlah(sebut-sebutkanlah)" (QS. Adh-Dhuha : 11).
Memanggil istri dengan sebutkan mesra, "cintaku.." menjadi cara bagaimana kita mensyukuri nikmat dan anugerah Allah yang limpahkan untuk kita sebagai suami. Niat kita melakukan adalah untuk menciptakan suasana mesra melanggengkan ikatan batin dan menjaga keharmonisan pernikahan kita untuk menggapai ridha Allah. Keridhaan Allah terpancar dari wajah dan tutur kata pasangan suami istri yang menimbulkan kesejukan dan ketenteraman di dalam keluarga. Menjaga pernikahan agar tetap harmonis dan mesra merupakan wujud rasa syukur kita kepada Allah. Sebagaimana Sabda Rasulullah, "Menyebut-nyebut nikmat Allah adalah tanda bersyukur, meninggalkannya berarti kufur. Barangsiapa tidak mensyukuri nikmat yang sedikit, ia tidak mensyukuri nikmat yang banyak. Dan barangsiapa tidak berterima kasih pada manusia berarti tidak bersyukur kepada Allah. Bersatu adalah rahmat dan bercerai adalah siksa." (HR. Baihaqi).
Wassalam,
M. Agus Syafii
3 Inspirasi dari Tiger Woods
"To succeed, you need to find something to hold on to, something to
motivate you, something to inspire you!"
- Tony Dorsett
Salah satu atlet dunia pujaan saya adalah Eldrick 'Tiger' Woods.
Bukan saja secara skills, dia luar biasa di lapangan, tetapi dalam
dirinya pun terdapat prinsip-prinsip yang membuatnya patut
diteladani.
Bahkan mengenai Tiger Woods, pemain basket terkenal Michael Jordan
pernah berujar, "I really do believe Tiger Woods was put here for a
bigger reason than just to play golf. I don't think that he is a god,
but I do believe that he was sent by One."
Pada kesempatan inilah saya ingin membagikan apa yang saya pelajari
secara luar biasa dari pribadi Tiger Woods dalam suatu wawancaranya.
Untuk sekadar info saja, Tiger Woods adalah pemain golf dunia yang
legendaris. Pada usia 11 bulan, dia sudah belajar mengayunkan tongkat
golf di garasi rumahnya. Pada saat umurnya baru mencapai 22 tahun,
Tiger Woods sudah meraup pendapatan bersih lebih dari US$2.000.000.
Suatu hal yang luar biasa telah dicapai oleh Tiger Woods bahkan sejak
pada usianya yang belia. Nah, pada kesempatan ini, mari kita belajar
ada tiga kunci sukses dari Tiger Woods yang menjadikannya juara dunia
sejati.
I smile at obstacles
Pertama-tama, kalimat inspiratif menarik yang diucapkan oleh Tiger
Woods adalah "I smile at obstacles". Justru kalimat ini rasanya
begitu cocok untuk kita semua di mana saat ini dunia sedang mengalami
krisis global. Rasanya kita bisa belajar banyak dari Tiger Woods yang
justru tersenyum saat menghadapi masalah, tantangan ataupun hambatan
dalam hidupnya.
Seperti yang sering saya ungkapkan dalam tulisan-tulisan saya, setiap
masalah yang kita hadapi, semuanya bertujuan baik supaya kita dapat
menjadi pribadi yang lebih kuat dan tangguh. Saya pun teringat dengan
buku Adversity Quotient karya Paul G. Stoltz.
Dalam buku tersebut, Paul G. Stoltz mengatakan seorang yang akan
sukses adalah yang dapat mengubah tantangan menjadi peluang untuk
berhasil. Selalu ada peluang bagi kita untuk dapat sukses jika kita
jeli melihat yang terjadi. Seperti sebuah kata bijaksana "You learn
something every day if you pay attention." Jadi, selalu pakailah
kacamata yang positif saat melihat segala sesuatu.
Sama seperti Tiger Woods, saat mengalami tantangan dalam memenangi
pertandingan golfnya, dia selalu belajar dari apa yang dialaminya.
Filosofi ini dipelajari dari ibunya Kultida Woods yang sejak awal
karirnya sering mengantarkan Tiger Woods ke berbagai turnamen dan
memberikan motivasi kepadanya, tanpa mengeluh sedikit pun.
Begitupun ayahnya, seorang veteran perang yang selalu membisikkan
kata-kata motivasi untuk membesarkan Tiger Woods sebelum dia
tertidur. Inilah kunci yang membuat Tiger Woods menjadi juara dunia.
Yang jelas, dari orang tuanya Tiger Woods belajar dan menasihati kita
bahwa jika kita menghadapi hambatan hidup dengan tersenyum, sesuatu
yang luar biasa akan pasti terjadi. Kita akan bisa lebih berpikir
jernih, sehingga lebih berfokus pada solusi dan jalan keluar pun
mungkin muncul di depan kita.
My will moves mountains
Dalam hal ini pun kita dapat banyak belajar kepada Tiger Woods.
Seluruh keinginannya diarahkan untuk menjadikan dirinya menjadi
seorang pegolf dunia. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Tiger
Woods, "Dibutuhkan keputusan yang luar biasa untuk menjadi yang
terbaik. Tetapi saya telah membuat keputusan itu!".
Tiger Woods mengetahui apa yang mau dicapai dalam hidupnya sehingga
dirinya terus berusaha sampai impiannya tercapai. Bahkan Tiger Woods
mengatakan "My will moves mountains". Dalam hal ini, Tiger Woods
mengajarkan kepada kita perlunya fokus, dedikasi, komitmen,
keteguhan, dan kegigihan dalam mencapai tujuan, termasuk pula
membayar ongkos berlatih siang dan malam sebelum dirinya menjadi
begitu terkenal.
Begitu pula dalam kehidupan ini, jika kita punya kualitas yang sama
seperti karakter yang dimiliki Tiger Woods, kesuksesan dapat kita
raih selama kita memiliki keinginan yang kuat untuk mencapainya.
Tiger Woods jelas-jelas mengetahui apa yang dia inginkan, dia
memiliki target dan goal yang jelas, membuat rencana untuk
mencapainya dan kemudian merealisasikannya. Tiger Woods percaya bahwa
bagi dirinya tidak ada gunung 'kesulitan' yang terlalu tinggi untuk
ditaklukkan.
Bagaimana dengan Anda? Apa yang menjadi impian, cita - cita dan
hasrat Anda? Apa yang ingin Anda lakukan dalam hidup ini? Apakah Anda
sudah meraihnya? Mari belajar dari Tiger Woods, miliki fokus dan
komitmen untuk meraih hal - hal yang diinginkan dalam hidup ini.
Ingatlah, keinginan Anda yang begitu kuat bahkan bisa memindahkan
gunung kesulitan Anda, setinggi apa pun.
I will do it with all my heart
Ketika Tiger Woods melakukan sesuatu, dia melakukannya dengan
totalitas dan komitmen. Melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh,
itulah kunci kemenangan Tiger Woods. Baginya, bahkan hanya dalam
berlatih di lapangan saja, semuanya diperlakukan seperti pertandingan
sungguhan. Tiger Woods melakoni semuanya dengan keinginan bukan
menjadi baik (good), bukan juga menjadi lebih baik (better),
melainkan dengan keinginannya menjadi yang terbaik (best).
Tidaklah mengherankan jika diusianya yang ke-24, pada 2000 Tiger
Woods sudah berhasil menjadi juara dunia hampir semua kejuaraan golf
bergengsi di dunia, a.l. US Open, US Amateur, British Open serta
British Amateur.
Kehidupan Tiger Woods memberikan pelajaran penting kepada kita yakni
jika kita mau meraih kesuksesan dan keberhasilan yang luar biasa,
lakukanlah segala sesuatu dengan kerja keras, fokus, penuh dedikasi
dan lakukan semuanya itu dengan hati.
Inilah sebenarnya pelajaran yang diperoleh Tiger dari ayahnya, yang
sekaligus menjadi pelatihnya. Untuk melatih Tiger Woods bermain
dengan sepenuh hati, ayahnya sering kali membunyikan koin-koin dan
berusaha mengacaukan konsentrasinya. Namun, latihan seperti inilah
yang membuatnya semakin mantap.
Bahkan, pernah sekali ketika dia memukul bola dan pada saat itu ada
suara walkie talkie yang mengganggu. Namun, Tiger Woods mengatakan
dirinya tidak mendengarkan suara apa pun karena pelajaran hidupnya
membuatnya betul-betul menaruh sepenuh hati pada bola yang akan
dipukulnya. Dengan mantap, Tiger Woods mengajarkan bahwa kita
berpelaung besar meraih hal - hal yang kita inginkan jika ada
totalitas penuh di sana.
Demikianlah, mari belajar dari tiga pelajaran inspiratif Tiger Woods
ini: smile at obstacles, my will moves mountains, serta I will do it
with all my heart - untuk menjadikan 2009 ini sebagai tahun yang
spektakuler, di mana Anda akan mencapai hal - hal yang Anda impikan
dan meraih kesuksesan serta keberhasilan yang luar biasa! Sukses
serta antusiasme yang luar biasa akan selalu menyertai Anda pada
tahun ini.
Sumber: 3 Inspirasi dari Tiger Woods oleh Anthony Dio Martin
Idul Fitri & Mudik
Komaruddin Hidayat
Idul Fitri dan mudik mempunyai paralelisme makna. Idul Fitri artinya kembali
pada fitrah. Mudik adalah peristiwa budaya yang menyertainya yang terkait dengan aspek psikologis.Ada dorongan-kerinduan yang kuat untuk pulang menapak tilas tempat lahir,tempat yang menyimpan memori pada masa anak-anak, remaja.
Di Indonesia momentum idul fitri dan mudik didukung pembenaran teologis
untuk menyampaikan bakti, permohonan maaf kepada handai tolan khususnya orang tua.
Esensi mudik relevan dengan sifat manusia yang suka ber-festival. Festival
itu bersifat masif,melibatkan banyak orang. Maka di sana terjadi pemuatan dan penyampaian pesan keagamaan secara implisit.
Misalnya saja, ibadah haji diwarnai dengan kegiatan mengenang Nabi Ibrahim.
Itu adalah bagian dari proses pengayaan batin. Mudik juga demikian merupakan acara festival. Saat itu peristiwa agama hadir untuk memberi makna pada kultural, akhirnya semua saling menguatkan dalam sebuah festival-perayaan.
Mudik juga mengandung aspek sosial yang sangat potensial jika diarahkan
sebagai gerakan nasional untuk mengawetkan budaya. Ada penguatan budaya yg memberi nilai tambah pada mudik itu sendiri.Misalnya saja sewaktu pulang kampung diadakan reuni sekolah untuk menyumbang buku; gerakan sosial menghimpun dana pendidikan untuk pendidikan anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena kendala biaya. Dengan demikian mudik bisa lebih produktif dan bernilai sosial.Daripada sekedar pamer kekayaan dan memancing orang untuk melakukan urbanisasi.
Mudik berdimensi sosial ekonomi dan politik.Pemerintah seharusnya menyediakan infrastruktur yang memadai guna memperlancar arus mudik. Berkumpulnya masyarakat kota di desa dalam suasana lebaran membangun penyadaran akan ketimpangan pembangunan antara kota dan desa. Diharapkan akan muncul kesetiakawanan sosial. Mobilitas manusia yang masif akan berdampak perputaran uang dari kota ke desa.Jadi kerusakan jalan pada jalur mudik yang setiap tahun menyita perhatian semestinya tidak perlu
terjadi jika pemerintah memahami pentingnya mudik.
Sumber lengkap : Liburan-Mudik Mengawetkan Budaya
Komaruddin Hidayat - Rektor UIN Syarif Hidayatullah untuk KOMPAS
Langganan:
Postingan (Atom)