Jumat, 21 Mei 2010

Sejarah Asal Mula Nama Daerah di Jakarta.

Kota Jakarta adalah jantung ibukota dari negara Republik Indonesia di mana
pusat perekonomian beserta berjuta permasalahannya ada di kota kecil padat
penduduk ini. Di balik nama beberapa daerah di Jakarta tersimpan kisah,
cerita dan sejarah dari mana nama itu muncul.
Berikut di bawah ini adalah beberapa asal-muasal nama daerah terkenal di DKI Jakarta :

1. Glodok
Asalnya dari kata grojok yang merupakan sebutan dari bunyi air yang jatuh
dari pancuran air. Di tempat itu dahulu kala ada semacam waduk penampungan
air kali ciliwung. Orang tionghoa dan keturunan tionghoa menyebut grojok
sebagai glodok karena orang tionghoa sulit mengucap kata grojok seperti
layaknya orang pribumi.

2. Kwitang
Dulu di wilayah tersebut sebagian tanah dikuasai dan dimiliki oleh tuan
tanah yang sangat kaya raya sekali bernama Kwik Tang Kiam. Orang Betawi
jaman dulu menyebut daerah itu sebagai kampung si kwi tang dan akhirnya
lama-lama tempat tersebut dinamai kwitang.

3. Senayan
Dulu daerah senayan adalah milik seseorang yang bernama wangsanaya yang
berasal dari Bali. Tanah tersebut disebut orang-orang dengan sebutan
wangsanayan yang berarti tanah tempat tinggal atan tanah milik wangsanaya.
Lambat laun akhirnya orang menyingkat nama wangsanayan menjadi senayan.

4. Menteng
Daerah Menteng Jakarta Pusat pada zaman dahulu kala merupakan hutan yang
banyak pohon buah-buahan. Karena banyak pohon buah menteng orang menyebut
wilayah tersebut dengan nama kampung menteng. Setelah tanah itu dibeli oleh
Pemerintah Belanda pada tahun 1912 sebagai lokasi perumahan pegawai
pemerintah Hindia Belanda maka daerah itu disebut menteng.

5. Karet Tengsin

Nama daerah yang kini termasuk kawasan segitiga emas kuningan ini berasal
dari nama orang cina yang kaya raya dan baik hati. Orang itu bernama Tan
Teng Sien. Karena baik hati dan selalu memberi bantuan kepada orang-orang
sekitar kampung, maka Teng Sien cepat dikenal oleh masyarakat sekitar dan
selalu menyebut daerah itu sebagai daerah Teng Sien. Karena pada waktu itu
banyak pohon karet, maka daerah itu dikenal dengan nama Karet Tengsin.

6. Kebayoran
Kebayoran berasal dari kata kebayuran, yang artinya "tempat penimbunan kayu
bayur". Kayu bayur yang sangat baik untuk dijadikan kayu bangunan karena
kekuatanya serta tahan terhadap rayap.

7. Lebak Bulus

Daerah yang terkenal dengan stadion dan terminalnya diambil dari kata
"lebak" yang artinya lembah dan "bulus" yang berarti kura-kura. Jadi lebak
bulus dapat disamakan dengan lembah kura-kura. Kawasan ini memang kontur
tanahnya tidak rata seperti lembah dan di kali Grogol dan kali Pesanggrahan-
dua kali yang mengalir di daerah tersebut-memang terdapat banyak sekali
kura-kura alias bulus.

8. Kebagusan
Nama kebagusan-daerah yang menjadi tempat hunian mantan presiden
megawati-berasal dari nama seorang gadis jelita, Tubagus Letak Lenang.
Konon, kecantikan gadis keturunan kesultanan banten ini membuat banyak
pemuda ingin meminangnya. Agar tidak mengecewakan hati pemuda itu,ia
akhirnya memilih bunuh diri. Sampai sekarang makam itu masih ada dan dikenal
dengan nama ibu Bagus.

9. Ragunan

Berasal dari Wiraguna, yaitu gelaran yang di sandang tuan tanah pertama
kawasan tersebut berna Hendrik Lucaasz Cardeel, yang diperolhnya dari sultan
banten Abunasar Abdul Qahar, putra Sultan Ageng Tirtayasa.

10. Pasar Rumput
Dulu, tempat ini merupakan tempat berkumpulnya para pedagang pribumi yang
menjual rumput. Para pedagang rumput terpaksa mangkal dilokasi ini karena
mereka tidak diperbolehkan masuk ke permukiman elit menteng. Saat itu, sado
adalah sarana transportasi bagi orang-orang kaya sehingga hampir sebagian
besar penduduk menteng memelihara kuda.

11. Paal Meriam
Asal usul nama daerah yang berada diperempatan Matraman dengan jatinegara
ini berasal dari suatu peristiwa sejarah yang terjadi sekitar tahun 1813.
Pada waktu itu pasukan artileri meriam inggris yang akan menyerang batavia,
mengambil daerah itu untuk meletakan meriam yang sudah siap ditembakan.
Peristiwa tersebut sangat mengesankan bagi masyarakay sekitar dan menyebut
nama daerah ini paal meriam (tempat meriam disiapkan)

12. Cawang
Duku, ketika belanda berkuasa, ada seorang letnan melayu yang mengabdi pada
kompeni, bernama Ende Awang. Letnan ini bersama anak buahnya bermukim di
kawasan yang tak jauh dari jatinegara. Lama kelamaan sebutan Ence Awang
berubah menjadi Cawang.

13. Pondok Gede
Sekitar Tahun1775, Lokasi ini merupakan lahan pertanian dan peternakan yang
disebut dengan onderneming. Di sana terdapat sebuah rumah yang sangat besar
milik tuan tanah yang bernama Johannes Hoojiman. Karena Merupakan
satu-satunya bangunan besar yang ada dilokasi tersebut, banguna itu sangat
terkenal. Masyarakat pribumi pun menjulukinya "Pondok Gede"

14. Condet Batu Ampar dan Balekambang
Pada jaman dahulu ada sepasang suami istri, namanya pangeran geger dan nyai
polong, memiliki beberapa orang anak. Salah satu anaknya, perempuan, di beri
nama Siti Maemunah, terkenal sangat cantik. Pangeran Astawana, anak pangeran
Tenggara atau Tonggara asal makassar pun tertarik melamarnya.
Siti Maemunah meminta dibangunkan sebuah rumah dan tempat peristirahatan
diatas empang, dekat kali ciliwung, yang harus selesai dalam satu malam.
Permintaan itu disanggupi dan menurut legenda, esok harinya sudah tersedia
rumah dan sebuah bale disebuah empang dipinggir kali ciliwung. Untuk
menghubungkan rumah itu dengan kediaman keluarga pangeran tenggara , dibuat
jalan yang diampari (dilapisi) Batu.
Demikian menurut cerita, tempat yang dilalui jalan yang diampari batu itu
selanjutnya disebut batu ampar, dan bale (balai) peristirahatan yang
seolah-olah mengambang di atas air itu di sebut Balekambang.

15.Buncit : dulunya di jalan buncit raya sekarang ada pedagang kelontong China
berperut gendut (Buncit) yg terkenal.

16. Bangka : dulunya disana banyak ditemukan mayat (bangke/bangkai) orang yg
dibuang di kali krukut.

17. Cilandak : konon di sana pernah ditemukan seekor landak raksasa

18. Tegal Parang : di sana banyak ditemukan alang2 tinggi (tegalan) yg di potong
dgn parang(golok) .

19. Blok A/M/S : dulunya sekitar situ tempat pembukaan perumahan baru yg
ditandai dgn blok, mulai A-S. Sayang yg tersisa tinggal 3 blok doang.

20. Kampung Ambon.
Berlokasi di Rawamangun, Jakarta Timur, nama Kampung
Ambon sudah ada sejak tahun 1619. Pada waktu itu JP Coen sebagai
Gubernur Jenderal VOC menghadapi persaingan dagang dengan Inggris.
Untuk memperkuat angkatan perang VOC, Coen pergi ke Ambon lalu
merekrut masyarakat Ambon untuk dijadikan tentara. Pasukan dari
Ambon yang dibawa Coen itu kemudian diberikan pemukiman di daerah
Rawamangun, Jakarta Timur. Sejak itulah pemukiman tersebut dinamakan
Kampung Ambon.

21. Sunda Kelapa.
Sunda Kelapa merupakan sebutan sebuah pelabuhan di
teluk Jakarta. Nama kelapa diambil dari berita yang terdapat dalam
tulisan perjalanan Tome Pires pada tahun 1513 yang berjudul Suma
Oriental. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa nama pelabuhan itu
adalah Kelapa. Karena pada waktu itu wilayah ini berada di bawah
kekuasaan kerajaan Sunda maka kemudian pelabuhan ini disebut Sunda
Kelapa.

22. Pasar Senen.
Pasar Senen pertama kali dibangun oleh Justinus Vinck.
Orang-orang Belanda menyebut pasar ini dengan sebutan Vinckpasser
(pasar Vinck). Tetapi karena hari pada awalnya Vinckpasser dibuka
hanya pada hari Senin, maka pasar itu disebut juga Pasar Senen
(disesuaikan dengan kebiasaan orang-orang yang lebih sering menyebut
Senen ketimbang Senin). Namun seiring kemajuan dan pasar Senen
semakin ramai, maka sejak tahun l766 pasar ini pun buka pada hari-
hari lain.

23. Taman Anggrek.
Taman Anggrek berawal dr keinginan bu Tien untuk mengambil kebon anggrek
milik juragan tanah sunda bernama Rasman, yg di kenal orang2 skitar dgn nama
H. Rasman karna dia memiliki tanah ber-hektar2 di Cipete. Jadi bu Tien
mengambil bunga2 anggrek tersebut dgn niat membeli (tapi namun tidak di
bayar) yg akhirnya di pindahkan ke daerah jakarta barat situh yg skrg jd
Mall Taman Anggrek.
Kmudian di pindahkhan lagi ke yg skrg smua orang ketahui ada di Taman Mini
Indonesia Indah.
Walopun bunga2 anggreknya dah gak ada, namun Jl Kebon Anggrek masih ada jg
sampe skrg. Lokasinya di cipete (sbrang SMA Cendrawasih)

24. Grogol.
Grogol berasal dari bahasa Sunda (g a r o g o l) yang artinya perangkap
terdiri dari tombak-tombak yang digunakan untuk menangkap hewan liar yang
banyak terdapat di hutan. Nama Garogol dipasang sebagai nama sebuah desa di
Limo Depok.
Dahulu kawasan ini memang masih hutan liwang-liwung yang kata pak dalang
"jalma mara-jalma mati" alias menyeramkan. Sudah barang tentu di kawasan ini
banyak terdapat hewan liar dan buas sehingga penduduk setempat memburunya
dengan memasang perangkap (garogol). Hewan yang masuk ke perangkap mirip
ciptaan "geek" alias soldadu Vietnam dijamin akan mati tertembus ujung
tombak yang menganga didasar lubang. Tapi belum jelas apakah jaman dulu ada
keresahan masyarakat bahwa kambing mereka pada tewas karena darahnya dihisap
oleh "mahluk misterius" yang sekarang kian marak di Depok.
Konsekwensinya kali yang melewati desa ini juga dinamai kali Garogol.
Penduduk Betawi yang main gampang saja, setiap ada desa dilalui kali ini
langsung di beri stempel desa Grogol, kampung Grogol.
Repotnya pada peta keluaran tahun 1903, ada kampung bernama Grogol di
kawasan Pal Merah. Dari Pal Merah, kali Grogol meliwati Taman Anggrek untuk
menuju ke kawasan Pluit (jalan Latumeten) dan tiba pada satu daerah yang
kini disebut Grogol- Negeri Tanah Tumpah Darah Anak Beta. Kalau yang memberi
nama orang jaman sekarang bisa-bisa namanya "Grogol Perjuangan."
Pada 1928, sebagian Kali Grogol diuruk oleh Kumpeni. Pasalnya volume air
yang mengalir di banding kapasitas kali sering tidak memadai. Dan ini bisa
mengancam kehidupan kastil sehingga harus dialirkan keluar kawasan kastil.
Pada 1950-an kawasan Grogol menjadi populer. Karena tercatat terlanggar
banjir bandang yang merendam kelurahan ini. Untuk pengendalian banjir di
bangun pula waduk Grogol yang letaknya di jalan dr. Semeru (Sumeru) sekarang
ini.. Di tengah waduk ada air muncrat yang memang agak indah tetapi
meresahkan masyarakat. Pasalnya air yang muncrat tadi kualitasnya kurang
bagus sering ketika butiran air yang menjulang tinggi lalu di tiup angin
pantai, maka banyak baju penduduk yang sedang dijemur tiba-tiba saja diberi
tambahan noda kuning dan berbau got. Bertepatan dengan alat pompa yang
sering ngadat, maka pemandangan air muncrat sudah nyaris tidak
dipertunjukkan.
Soal nama jalan juga unik. Nama jalan disini mengambil nama pahlawan seperti
Latumeten, Sumeru, Mawardi, Susilo. Semeru adalah nama dari Dokter Sumeru
salah satu tokoh pejuang bangsa Indonesia, disamping nama Dokter Mawardi,
Dr. Susilo. Lalu lidah Jawa mulai mengubahnya menjadi Semeru dan seperti
keahlian bangsa ini, nama inipun di utak-atik lagi sehingga menjadi suatu
statement bahwa S(u)meru adalah nama Gunung. Nama dokter Mawardi cuma
kepleset sedikit menjadi dr. Muwardi.
Banyak surat pos datang kepada saya dengan alamat Jalan Gunung Semeru,
Grogol (dulu). Untung saja pak pos paham akan kesalahan dimana lokasi daerah
dengan Kode Pos 11400 (ini pentingnya menulis Kode Pos dalam setiap surat,
kalau terjadi kebingungan nama bisa merujuk ke kode pos).
Tahun 1960, Grogol menjadi ngetop lagi sekalipun rada minir, sebab disana di
bangun Rumah Sakit Jiwa sehingga konotasi "dasar Orang Grogol" sering
berarti orang yang kurang satu strip lantaran kabel hijau (masa) di otaknya
ada yang lepas.
Pada 1970, nama Grogol kembali menjadi buah bibir pembicaraan orang karena
dibangun Terminal Bis yang besar di sana. Belakangan terminal yang sangat
ramai ini di pindahkan ke KaliDeres yang bisnya sering menyingkat plang
trayek sebagai "X-deres". Sekali tempo ada orang mendapat kecelakaan dijalan
raya sehingga napasnya sudah tinggal satu-satu saat dibawa ke RS Sumber
Waras. Karena tidak ada keluarga yang menunggunya, seorang suster
membisikkan kata "nyebut Bang" - sebuah tradisi untuk melafalkan nama Tuhan
ketika seseorang dalam keadaan koma. Si abang nampaknya mengerti, mulutnya
lirih menyebut sesuatu sebelum meninggal "g a r o g o l, g a r o g o l" -
Kernet bis rupanya dia.

25. Utan Kayu
dulunya memang berbentuk hutan disamping basis prajurit Mataram mau
menyerang Batavia. Hutan ini sumber kayu dari perumahan-perumahan maupun
perkampungan para pengepung batavia maupun benteng belanda jaman dulu.
Saking lebatnya hutan ini yang disertai rawa-rawa kemudian saat pembangunan
daerah ini, mulai disebut Hutan Kayu yang kemudian dipersingkat menjadi Utan
Kayu. Sisa kejayaan dari hutan ini masih dirasakan hingga saat ini dimana
kawasan ini masih cukup hijau dan sejuk meski bukan termasuk dalam kawasan
mewah seperti halnya Menteng.

26. Rawamangun
Melanjutkan cerita mengenai Utan Kayu, hutan yang sangat lebat disertai yang
didalamnya terdapat banyak rawa-rawa yang kemudian setelah masa perang
dengan mataram selesai dan perluasan kota batavia, mulai diterabas untuk
pembangunan wilayah perumahan. Struktur tanah yang sifatnya rawa-rawa
asalnya, membuat banyak pembangunan yang menggunakan pondasi ekstra dalam
untuk wilayah ini, dan seperti halnya sifat rawa-rawa yang selalu berada
ditengah hutan dan mirip halnya daerah Utan Kayu, Rawamangun juga masih
relatif lebih hijau.

27. Hek
Tempat yang terletak antara Kantor Kecamatan Kramatjati dan kantor Polisi
Resor Kramatjati, sekitar persimpangan dari jalan Raya Bogor ke Taman Mini
Indonesia Indah (TMII) terus ke Pondokgede, dikenal dengan nama Hek.
Rupanya, nama tersebut berasal dari bahasa Belanda. Menurut Kamus Umum
Bahasa Belanda - Indonesia (Wojowasito 1978:269), kata hek berarti pagar.
Tetapi menurut Verklarend Handwoordenboek der Nederlandse Taal (Koenen-
Endpols, 1946:388), kata hek dapat juga berarti pintu pagar ("..raam-of
traliewerk." ). Dari seorang penduduk setempat yang sudah berumur lanjut,
diperoleh keterangan, bahwa di tempat itu dahulu memang ada pintu pagar,
terbuat dari kayu bulat, ujung - ujungnya diruncingkan, berengsel besi
besar - besar, bercat hitam. Pintu itu digunakan sebagai jalan keluar -
masuk kompleks peternakan sapi, yang sekelilingnya berpagar kayu bulat.
Kompleks peternakan sapi itu dewasa ini menjadi kompleks Pemadam Kebakaran
dan Kompleks polisi Resort Keramatjati. Sampai tahun tujuh puluhan kompleks
tersebut masih biasa disebut budreh, ucapan penduduk umum untuk kata
boerderij, yang berarti kompleks
pertanian dan atau peternakan.
Kompleks peternakan tersebut merupakan salah satu bagian dari Tanah
Partikelir Tanjoeng Oost, yang pada masa sebelum Perang Dunia Kedua terkenal
akan hasil peternakannya, terutama susu segar untuk konsumsi orang - orang
Belanda di Batavia. (Sumber: De Haan 1935: Van Diesen 1989).

28. Jalan Cengkeh
Jalan Cengkeh terletak di Kota Tua Jakarta sebelah utara Kantor Pos, di
samping sebelah timur Pasar Pisang.
Dahulu jaman penjajahan Belanda, Jalan itu bernama Princenstraat, tetapi
umum juga disebut Jalan Batutumbuh, mungkin karena disana terdapat batu
bertulis. Kawasan sekitar batu prasasti Purnawarman, di Tugu juga biasa
disebut Kampung Batutumbuh.
Pada tahun 1918, di dekat tikungan Jalan Cengkeh ke Jalan Kalibesar Timur,
yang waktu itu bernama Groenestraat, ditemukan batu bertulis peninggalan
orang - orang Portugis, yang biasa disebut padrao. Padrao itu dipancangkan
oleh orang - orang Portugis, menandai tempat akan dibangun sebuah benteng,
sesuai dengan perjanjian yang dibuat antara Raja Sunda dengan perutusan
Portugis yang dipimpin oleh Henriquez de Lemme, yang menurut Sukamto
ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522. Batu bertulis itu diberi ukiran
berupa lencana. Raja Immanuel. Rupanya de Leme beserta rombongannya belum
mengetahui bahwa raja Portugal tersebut telah meninggal tanggal 31 Desember
1521.
Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng
di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi
muatan lada yang harus ditukar dengan barang - barang keperluan yang diminta
oleh pihak Sunda. Mulai saat benteng dibangun pihak Sunda akan menyerahkan
1.000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan barang - barang yang
dibutuhkan (Sumber: Hageman 1867: Soekamto 1956: Danasasmita 1983)

29. Japat
Japat terletak di sebelah tenggara Pelabuhan Sunda Kalapa, termasuk wilayah
Kelurahan Ancol Utara, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara.
Nama kawasan tersebut berasal dari kata jaagpad. Ada yang mengatakan, kata
jaagpad berarti "Jalan setapak yang biasa digunakan untuk berburu" . Katanya
jaag, dari jagen, artinya "berburu" Pad, artinya "jalan setapak" padahal,
kata jaagpad tidak ada sangkut pautnya dengan berburu, melainkan sebuah
istilah dalam pelayaran perahu. Pada alur sungai atau terusan yang dangkal,
perahu yang melaluinya baru dapat bergerak maju, kalo ditarik. Pada jaman
Kompeni Belanda, bahkan beberapa dasawarsa sebelum pelabuhan Tanjungpriuk
dibuat, kapal - kapal (layar) yang cukup besar bila berlabuh dipelabuhan
Batavia, yang sekarang menjadi Pelabuhan Sunda Kalapa, tidak merapat seperti
sekarang, melainkan biasa membuang sauh masih jauh dilaut lepas.
Pengangkutan orang dan barang dari kapal biasa dilakukan dengan perahu.
Untuk mempermudah pendaratan, di sebelah rimur Pelabuhan Sunda Kalapa
sekarang dibuat terusan
khusus untuk perahu - perahu pendarat. Terutama di musim hujan, terusan
tersebut biasa menjadi dangkal, dipenuhi lumpur dari darat bercampur pasir
dari laut sehingga perahu kecil pun sulit melewatinya. Apalagi perahu besar,
berlunas lebar, sarat muatan, agar bisa bergerak maju harus dihela beberapa
kuda atau sejumlah orang yang berjalan di depan perahu, sebelah kiri dan
kanan terusan.
Terusan tersebut diuruk pada abad ke- 19, sehingga sekarang sulit untuk
melacaknya. Yang tersisa hanya sebutannya jaagpad yang berubah menjadi
japat, sebagai nama dari kawasan tersebut.

30. Jatinegara
Jatinegara dewasa ini menjadi nama sebuah Kecamatan. Kecamatan Jatinegara,
Kotamadya Jakarta Timur, salah satu pusat Kota Jakarta yang multipusat itu.
Nama Jatinehara baru muncul pada kawasan tersebut, sejak tahun 1942, yaitu
pada awal masa pemerintahan pendudukan balatentara Jepang di Indonesia,
sebagai pengganti nama Meester Cornelis yang berbau Belanda.
Sebutan Meester Cornelis mulai muncul ke pentas sejarah Kota Jakarta pada
pertengahan abad ke-17, dengan diberikannya izin pembukaan hutan dikawasan
itu kepada Cornelis Senen adalah seorang guru agama Kristen, berasal dari
Lontor, pulau Banda. Setelah tanah tumpah - darahnya dikuasai sepenuhnya
oleh kompeni, pada tahun 1621 Senen mulai bermukim di Batavia, ditempatkan
di kampung Bandan. Dengan tekun ia mempelajari agama Kristen sehingga
kemudian mampu mengajarkannya kepada kaum sesukunya. Dia dikenal mampu
berkhotbah baik dalam bahasa Melayu maupun dalam bahasa Portugis (kreol)
Sebagai guru, ia biasa dipanggil mester, yang berarti "tuan guru". Hutan
yang dibukanya juga dikenal dengan sebutan Mester Cornelis, yang oleh
orang - orang pribumi biasa disingkat menjadi Mester. Bahkan sampai dewasa
ini nama itu nampaknya masih umum digunakan oleh penduduk Jakarta, termasuk
oleh para pengemudi angkot
(angkutan kota).
Kawasan hutan yang dibuka oleh Mester Cornelis Senen itu lambat laun
berkembang menjadi satelit Kota Batavia. Dalam rangka pelaksanaan otonomi
daerah oleh Pemerintah Hindia Belanda dibentuklah Pemerintahan Gemeente
(kotapraja) Meester Cornelis, bersamaan dengan dibentuknya Gemeente Batavia.
Kemudian, mulai tanggal 1 Januari 1936 Gemeente Meester Cornelis digabungkan
dengan Gemeente Batavia.
Disamping kedudukannya sebagai gemeente, pada tahun 1924 Meester Cornelis
dijadikan nama kabupaten, Kabupaten Meester Cornelis, yang terbagi menjadi 4
kewedanaan, yaitu Kewedanaan Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi, dan
Cikarang (Kolonial Tidschrifft, Maart 1933:1).
Pada jaman Jepang pemerintah pendudukan jepang, nama Meester Cornelis
diganti menjadi Jatinegara, bersetatus sebagai sebuah Siku, setingkat
kewedanaan, bersama - sama dengan Penjaringan, Manggabesar, Tanjungpriuk,
Tanahabang, Gambir, dan Pasar Senen.
Ketika secara administrative Jakarta ditetapkan sebagai Kotapraja Jakarta
Raya, Jatinegara tidak lagi menjadi kewedanaan, karena kewedanaan
dipindahkan ke Matraman, dengan sebutan Kewedanaan Matraman. Jatinegara
menjadi salah satu wilayah Kecamatan Pulogadung, Kewedanaan Matraman (The
Liang Gie 1958:144)

31.Jatinegara Kaum
Jatinegara Kaum dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Jatinegara
Kaum, Kecamatan Pulogadung, Kotamadya Jakarta Timur. Disebut Jatinegara
Kaum, karena di sana terdapat kaum, dalam hal ini rupanya kata kaum diambil
dari bahasa Sunda, yang berarti "tempat timggal penghulu agama beserta
bawahannya" (Satjadibrata, 1949:149). Sampai tahun tigapuluh abad yang lalu,
penduduk Jatinegara Kaum umumnya berbahasa Sunda (Tideman 1933:10).
Dahulu Jatinegara Kaum merupakan bagian dari kawasan Jatinegara yang
meliputi hamper seluruh wilayah Kecamatan Pulogadung sekarang. Bahkan di
wilayah Kecamatan Cakung sekarang, terdapat sebuah kelurahan yang bernama
Jatinegara, yaitu Kelurahan Jatinegara.
Dari mana asal nama Jatinegara serta kapan kawasan tersebut bernama
demikian, belum dapat dinyatakan dengan pasti. Yang jelas nama kawasan
tersebut baru disebut - sebut pada tahun 1665 dalam catatan harian (Dagh
Register) Kastil Batavia, waktu diserahkan kepada Pangeran Purbaya beserta
para pengikutnya. Pangeran Purbaya adalah salah seorang putra Sultan Ageng
Tirtayasa, Sultan Banten yang digulingkan dari tahtanya oleh putranya
sendiri, Sultan Haji, dengan bantuan kompeni Belanda pada tahun 1682.
Setelah tertawan, Pangeran Purbaya beserta saudara - saudaranya yang lain,
seperti Pangeran Sake dan Pangeran Sangiang, ditempatkan di dalam benteng
Batavia. Kemudian , ditugaskan untuk memimpin para pengikutnya, yang
ditempatkan dibeberapa tempat, seperti Kebantenan, Jatinegara, Cikeas,
Citeurep, Ciluwar, dan Cikalong.
Orang - orang Banten yang bermukim di Jatinegara, awalnya dipimpin oleh
Pangeran Sangiang. Karena dianggap terlibat dalam pemberontakan Kapten
Jonker, kekuasaan Pangeran Sangiang di Jatinegara ditarik kembali, dan pada
tahun 1680 diserahkan kepada Kiai Aria Surawinata, mantan bupati Sampora,
kesultanan Banten (T.B.G. XXX:138) yang setelah menyerah kepada kompeni
diangkat menjadi Letnan, di bawah Pangeran Sangiang. Sampai tahun
1689.Surawinata masih bermukim di Luarbatang . Setelah Kiai Aria Surawinata
wafat, berdasarkan putusan Pimpinan Kompeni Belanda di Batavia tertanggal 27
Oktober 1699, sebagai penggantinya adalah putranya, Mas Muhammad yang Panca
wafat, sebagai penggantinya ditunjuk salah seorang putranya, Mas Ahmad. Pada
waktu para bupati Kompeni diwajibkan untuk menanam kopi di wilayahnya
masing - masing, penyerahan hasil pertanian itu dari tahun 1721 sampai
dengan tahun 1723. tercatat atas nama
Mas Panca. Baru pada tahun 1724 tercatat atas nama Mas Ahmad. Pada tahun
1740 rupanya Mas Ahmad masih menjadi bupati Jatinegara atas nama Mas Ahmad
berjumlah 2.372,5 pikul, kurang lebih 14.650 kg.

32. Kebantenan
Kawasan Kebantenan, atau kebantenan, dewasa ini termasuk wilayah Kelurahan
Semper Timur, Kecamatan Cilincing, Kotamadya Jakarta Utara.
Dikenal dengan sebutan Kebantenan, karena kawasan itu sejak tahun 1685
dijadikan salah satu tempat pemukiman orang - orang Banten, dibawah pimpinan
Pangeran Purbaya, salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa. Tentang
keberadaan orang - orang Banten dikawasan tersebut, sekilas dapat
diterangkan sebagai berikut.
Setelah Sultan Haji (Abu Nasir Abdul Qohar ) mendapat bantuan kompeni yang
antara lain melibatkan Kapten Jonker, Sultan Ageng Tirtayasa terdesak,
sampai terpaksa meninggalkan Banten, bersama keluarga dan abdi - abdinya
yang masih setia kepadanya. Mereka berpencar, tetapi kemudian terpaksa
mereka menyerahkan diri, Sultan Ageng di sekitar Ciampea, Pangeran Purbaya
di Cikalong kepada Letnan Untung (Untung Surapati).
Di Batavia awalnya mereka ditempatkan didalam lingkungan benteng. Kemudian
Pangeran Purbaya beserta keluarga dan abdi - abdinya diberi tempat
pemukiman, yaitu di Kebantenan, Jatinegara, Condet, Citeureup, dan Cikalong.
Karena dituduh terlibat dalam gerakan Kapten Jonker, Pangeran Purbaya dan
adiknya. Pangeran Sake, pada tanggal 4 Mei 1716 diberangkatkan ke Srilangka,
sebagai orang buangan. Baru pada tahun 1730 kedua kakak beradik itu
diizinkan kembali ke Batavia. Pangeran Purbaya meninggal dunia di Batavia
tanggal 18 Maret 1732.
Perlu dikemukakan, bahwa disamping Kabantenan di Jakarta Utara itu, ada pula
Kabantenan yang terletak antara Cikeas dengan Kali Sunter, sebelah tenggara
Jatinegara, atau sebelah barat daya Kota Bekasi. Di salah satu rumah tempat
kediaman Pangeran Purbaya yang berada di barat daya Bekasi itu ditemukan
lima buah prasasti berhuruf Sunda kuno, peninggalan jaman kerajaan Sunda,
yang ternyata dapat sedikit membuka tabir kegelapan sejarah Jawa Barat.

32. Kampung Bali
Di wilayah Propinsi DKI Jakarta terdapat beberapa kampung yang menyandang
nama Kampung Bali, karena pada abad ketujuhbelas atau kedelapanbelas
dijadikan pemukiman orang - orang Bali, yang masing - masing dipimpin
kelompok etnisnya. Untuk membedakan satu sama lainnya, dewasa ini biasa
dilengkapi dengan nama kawasan tertentu yang berdekatan, yang cukup banyak
dikenal. Seperti Kampung Bali dekat Jatinegara yang dulu bernama Meester
Corornelis, disebut Balimester, Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta
Timur.
Balimester tercatat sebagai perkampungan orang - orang Bali sejak tahun
1667.
Kampung Bali Krukut, terletak di sebelah barat Jalan Gajahmada sekarang yang
dahulu bernama Molenvliet West. Di sebelah selatan, perkampungan itu
berbatasan dengan tanah milik Gubernur Reineir de Klerk (1777 - 1780),
dimana dibangun sebuah gedung peristirahatan, yang dewasa ini dijadikan
Gedung Arsip Nasional.
Kampung Bali Angke sekarang menjadi kelurahan Angke, Kecamatan Tambora
Jakarta Barat. Disana terdapat sebuah masjid tua, yang menurut prasasti yang
terdapat di dalamnya, dibangun pada 25 Sya'ban 1174 atau 2 April 1761.
Dihalaman depan masjid itu terdapat kuburan antara lain makam Pangeran
Syarif Hamid dari Pontianak yang riwayat hidupnya ditulis di Koran Javabode
tanggal 17 Juli 1858. Dewasa ini mesjid tersebut biasa disebut Masjid Al-
Anwar atau Masjid Angke.
Pada tahun 1709 di kawasan itu mulai pula bermukim orang - orang Bali di
bawah pimpinan Gusti Ketut Badulu, yang pemukimannya berseberangan dengan
pemukiman orang - orang Bugis di sebelah utara Bacherachtsgrach, atau Jalan
Pangeran Tubagus Angke sekarang . Perkumpulan itu dahulu dikenal dengan
sebutan Kampung Gusti (Bahan: De Haan 1935,(I), (II):Van Diesen 1989).

33.Kampung Bandan
Merupakan penyebutan nama Kampung yang berada dekat pelabuhan Sunda Kelapa
atau masih dalam Kawasan Kota Lama Jakarta (Batavia) Berdasarkan informasi
yang dapat dikumpulkan terdapat beberapa versi asal - usul nama Kampung
Bandan.
1-Bandan berasal dari kata Banda yang berarti nama pulau yang ada di daerah
Maluku. Kemungkinan besar pada masa lalu ( periode kota Batavia) daerah ini
pernah dihuni oleh masyarakat yang berasal dari Banda. Penyebutan ini
sangatlah lazim karena untuk kasus lain ada kemiripannya, seperti penyebutan
nama kampung Cina disebut Pecinan. Tempat memungut pajak atau cukai (bea)
disebut Pabean dan Pekojan sebagai perkampungan orang Koja (arab), dan
lain - lain.

2-Banda berasal dari kata Banda ( bahasa Jawa) yang berarti ikatan Kata
Banda dengan tambahan awalan di (dibanda) mempunyai arti pasif yaitu diikat.
Hal ini dapat dihubungkan dengan adanya peristiwa yang sering dilihat
masyarakat pada periode Jepang, yaitu pasukan Jepang membaw pemberontak
dengan tangan terikat melewati kampung ini menuju Ancol untuk dilakukan
eksekusi bagi pemberontak tersebut.

3-Banda merupakan perubahan ucapan dari kataPandan. Pada masa lalu di
kampung ini banyak tumbuh pohon, sehingga masyarakat menyebutnya dengan nama Kampung Bandan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar