Oleh: Emha Ainun Nadjib
Andaikan makhluk yang bernama fatwa sudah sejak dulu menemani bangsa
Indonesia, tentu masyarakat kita menjadi terbiasa bergaul dengannya sehingga
tidak mudah uring-uringan seperti yang hari-hari ini terjadi.
Misalnya pada awal 1900-an kaum ulama melontarkan fatwa bahwa Kebangkitan
Nasional bangsa Indonesia itu wajib hukumnya (sehingga tidak bangkit itu
haram hukumnya). Demikian juga mempersatukan seluruh pemuda Indonesia itu
fardhu kifayah (semua orang tidak bersalah asal ada sebagian yang
menjalankannya) .
Sumpah Pemuda itu fardhu 'ain, kewajiban bagi setiap orang, kalau tidak
bersumpah bergabung dalam persatuan Indonesia haram hukumnya. Berikutnya
begitu Hiroshima- Nagasaki dibom atom, ulama Indonesia sigap melontarkan
fatwa bahwa memproklamasi kan kemerdekaan Republik Indonesia itu wajib
sehingga masuk neraka bagi siapa saja yang menolak 17 Agustus 1945.
Lantas diikuti oleh ratusan atau bahkan ribuan fatwa berikutnya: demokrasi
itu wajib (meskipun di dalamnya ada komunisme itu haram).Tidak menaati UUD
1945 itu haram. Konstituante dan Piagam Jakarta dicari formula fatwanya.
Katakanlah sejak pra-Kebangkitan Nasional hingga era Reformasi sekarang ini
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menelurkan lebih dari 5.000 fatwa.
Makhluk Suci dari Langit
Sementara kita simpan di laci dulu perdebatan tentang positioning antara
negara dengan agama. Kita istirahat tak usah bergunjing ulama itu sejajar
dengan umara (pemerintah) ataukah di atasnya ataukah di bawahnya. Juga kita
tunda menganalisis lebih tinggi mana tingkat kekuatan fatwa kaum ulama
dibandingkan undang-undang dan hukum negara.
Entah apa pun namanya makhluk Indonesia ini: negara sekuler, demokrasi
religius, kapitalisme sosialis atau sosialisme kapitalis,atau apa pun. Kita
mengandaikan saja bahwa produk kaum ulama,khususnya MUI, berposisi sebagai
inspirator bagi laju pasang surutnya pelaksanaan kehidupan bernegara dan
berbangsa.
Sebutlah ulama adalah partner pemerintah. Kaum ulama adalah makhluk suci
berasal dari langit, memanggul amanat Allah sebagai khalifatullah fil ardli
Indonesia. Kita semua pun bersyukur karena dalam menjalankan demokrasi kita
ditemani oleh utusan-utusan Tuhan.Dulu para rasul dengan mandat risalah,
para nabi dengan mandat nubuwah, dan para ulama dengan mandat khilafah.
Tidak semua soal kehidupan mampu diilmui oleh akal manusia, maka kita senang
Tuhan kasih informasi dan tuntunan, terutama menyangkut hal-hal yang otak
dan mental manusia tak sanggup menjangkau dan mengatasinya. Kaum ulama dalam
majelisnya terdiri atas segala macam ahli dan pakar.
Ada ulama pertanian, ulama ekologi, ulama perekonomian, ulama kehutanan,
ulama kesehatan dan kedokteran, ulama, ulama kesenian dan kebudayaan, ulama
fiqih, ulama tasawuf dan spiritualisme, ulama olahraga, dan segala bidang
apa pun saja yang umat manusia menggelutinya karena memang seluruhnya itulah
lingkup tugas khilafah atau kekhalifahan.
Tradisi Fatwa dalam Negara
Akan tetapi tradisi itu tak pernah ada. Fatwa terkadang nongol dan sangat
sesekali. Mendadak ada fatwa tentang golput tanpa pernah ada fatwa tentang
pemilu, pilkada, pilpres dengan segala sisi dan persoalannya yang sangat
canggih. Tiba-tiba ada fatwa tentang rokok tanpa ada fatwa tentang pupuk
kimia, tentang berbagai jenis narkoba, suplemen makanan dan minuman,
penggusuran, pembangunan mal, industri, kapitalisasi lembaga
pendidikan,serta seribu soal lagi dalam kehidupan berbangsa kita.
MUI mengambil bagian yang ditentukan tanpa pemetaan konteks masalah bangsa,
tanpa skala prioritas, tanpa pemahaman konstelasi serta tanpa interkoneksi
komprehensif antara berbagai soal dan konteks. Itu pun fatwa membatasi diri
pada "benda". Makan ayam goreng halal atau haram? "Dak tamtoh," kata orang
Madura. Tak tentu. Tergantung banyak hal. Kalau ayam curian, ya haram.
Kalau seseorang mentraktir makan ayam goreng sementara teman yang
ditraktirnya hanya dikasih makan tempe, lain lagi hukumnya. Makan ayam
goreng secara demonstratif di depan orang berpuasa malah bisa haram, bisa
makruh, bisa sunnah. Haram karena menghina orang beribadah. Makruh karena
bikin ngiri orang berpuasa.
Sunah karena dia berjasa menguji kesabaran orang berpuasa. Beli sebotol air
untuk kita minum, halal haramnya tak terletak hanya pada airnya. Kalau mau
serius berfatwa perlu dilacak air itu produksi perusahaan apa, modalnya dari
uang kolusi atau tidak, proses kapitalisasi air itu mengandung kezaliman
sosial atau tidak?
Kalau kencing dan buang air besar mutlak wajib hukumnya. Sebab kalau orang
menolak kencing dan beol, berarti menentang tradisi metabolisme tubuh
ciptaan Allah SWT. Berzikir tidak wajib, bahkan bisa makruh atau haram.
Misalnya suami rajin salat dan berzikir siang malam, istrinya yang setengah
mati cari nafkah. Atau kita wiridan keras-keras di kamar ketika teman
sekamar kita sedang sakit gigi.
Hak Tuhan
Butuh ruangan lebih lebar untuk menguraikan berbagai perspektif masalah yang
menyangkut fatwa. Negara dan masyarakat tak perlu mencemaskan fatwa karena
ada jarak serius antara fatwa dengan agama, apalagi antara fatwa dengan
negara dan hukumnya.Terlebih lagi jarak antara fatwa dengan Tuhan.
Yang berhak me-wajib-kan, menyunah- kan, me-mubah-kan, memakruh- kan dan
meng-haram-kan sesuatu hanya Tuhan. Ulama dan kita semua hanya menafsiri
sesuatu. Kalau MUI bilang "rokok itu haram", itu posisinya beliau-beliau
berpendapat bahwa karena sesuatu dan lain hal, maka diperhitungkan bahwa
Tuhan tidak memperkenankan hal itu diperbuat.
Setiap orang, sepanjang memenuhi persyaratan metodologis dan syar'i, berhak
menelurkan pendapat masing-masing tentang kehalalan dan keharaman rokok dan
apa pun. Muhammadiyah dan NU pun tidak merekomendasikan pengharaman rokok.
Artinya, para ulama dari dua organisasi Islam terbesar itu memiliki pendapat
yang berbeda.
Sebelum saya mengambil keputusan untuk mewakili pendapat Tuhan untuk
mewajibkan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu hal, sangat banyak
persyaratan yang harus saya penuhi. Terutama persyaratan riset, sesaksama
mungkin dan ini sungguh persoalan sangat besar, ruwet, luas, detail.
Kemudian andaipun persyaratan itu mampu saya penuhi, saya tidak punya hak
untuk mengharuskan siapa pun saja sependapat dengan saya atau apalagi
melakukan dan tidak melakukan sesuatu sejalan dengan pandangan saya.Nabi
saja tidak berhak mewajibkan siapa pun melakukan salat.
Hak itu ada hanya pada Tuhan, Nabi sekadar menyampaikan dan memelihara
kemaslahatannya. Para ulama dan kita semua bisa kelak teruji, ternyata
sependapat dengan Tuhan,bisa juga akan terlindas oleh peringatan keras
Allah: "Lima tuharrimu ma ahallallohu lak", kenapa kau haramkan sesuatu yang
dihalalkan oleh Tuhan untukmu?
Tapi jangan lupa bisa juga terjadi sebaliknya: kenapa aku halalkan yang
Allah haramkan? Mungkin benar rokok itu haram dan saya akan masuk neraka
karena itu, bersama ulama agung Indonesia Buya Hamka, perokok yang jauh
lebih berat dibandingkan saya yang sama sekali tidak nyandu rokok. Juga ada
teman saya di neraka almarhum Kiai Mbah Siroj Klaten yang hingga usianya 94
tahun merokok empat bungkus sehari. Dengan demikian bangsa Indonesia akan
tercatat sebagai pemegang rekor tertinggi masuk neraka karena rokok. []
Emha Ainun Nadjib
Budayawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar