Kamis, 09 Juni 2016

Kebiri
Oleh: Arswendo Atmowiloto

Kebiri, atau pengebirian, menjadi kata yang diperbincangkan dan dipertimbangan, ketika wacana kekerasan seksual dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Presiden Jokowi tersulut emosi untuk perubahan perundang-undangan. Juga hukuman tambahan. Dalam hal ini kebiri mulai dipersoalkan. Sebenarnya peristiwa pengebirian atau kastrasi sudah lama dikenal, walau tidak sepenuhnya dipahami mekanismenya. Intinya adalah tindakan bedah atau menggunakan bahan kimia, yang bertujuan untuk menghilangkan fungsi testis pada jantan atau fungsi ovarium pada betina. Ini bisa dilakukan pada manusia, juga binatang.
 Pemandulan, penghilangan, peniadaan daya seksual ini sudah berlangsung lama. Dalam kisah kerajaan lama, orang yang dikebiri disebut kasim. Tugasnya menjadi sangat penting karena merupakan �telinga raja� yang melaporkan ini itu seputar tempat tidur. Para kasim ini tugasnya antara lain menata rambut, menata tempat tidur, sampai dengan memandikan. Dengan demikian para kasim ini tahu banget letak tahi lalat atau susuk yang dipakai misalnya. Sehingga daya seksualnya diputus sejak awal. Dalam kasus kekerasan seksual sebagai kejahatan luar biasa, terpidana bisa dikebiri. Baik dengan pengebirian saraf libido, atau memasukkan bahan kimia antiandrogen. Yang sebenarnya juga tidak mudah melakukannya. Karena bisa saja setelah tidak disuntik kimia, libidonya muncul lagi.

Sesungguhnya kekesalan, kemarahan pada pelaku kekerasan seksual sudah sampai ubun-ubun. Peristiwa yang menyayat-nyayat kemanusian, mendorong tega membalaskan dengan apa saja�yang kali ini dipayungi hukum. Siapa tidak ngamuk mendengar cerita sebenarnya tentang 14 anak memperkosa anak gadis usia 14 tahun dan membunuhnya? Siapa yang tak mengutuk pelaku perkosaan pada bayi usia 2 tahun 2 bulan, dan membunuhnya? Atau lebih lagi pada kasus yang melibatkan aparat, melibatkan orang penting, dan penegakkan hukum yang terengah-engah. Belum lagi masalah yang diboncengi �cari popularitas�, seakan ini adalah panggung untuk menampilkan diri. Yang begitu selalu terjadi, dan tata krama hukum membuat wacana yang panjang, melelahkan dan melenceng dari penegakan �tambahan hukuman.�

Yang terakhir ini sebenarnya sudah berlangsung. Bahkan di antara para kriminalis pun, pelaku perkosaan adalah dimusuhi semua kriminal perkara apa saja. Tersangka kasus �belah duren� atau �monon��jika sodomi, bisa dihajar ramai2.(Maaf kalau ada kata yang kasar. Itu sudah diperhalus) Mereka ditempatkan di ruang isolasi sehingga tak bisa disambangi. Meskipun tetap saja terjadi penyiksaan yang tak mungkin dituliskan di sini.

Dengan demikian, sebenarnya secara alamiah pun kemarahan itu mempunyai alasan, mempunyai tujuan agar pelaku pemerkosaan dibuat kapok�sekapok-kapoknya. Karena itu bisa terjadi sebelum masuk di lembaga pemasyarakatan, atau bahkan setelah berada di dalam.


Dalam kaitan itulah sebenarnya hukuman tambahan dengan pengebirian mencapai sasarannya. Kalau tidak , peristiwa itu hanya menjadi panggung balas dendam, panggung kemarahan pada pelaku perorangan, dan melupakan sebab yang mengkondisikan kejahatan seksual terjadi. Dengan kata lain kastrasi bisa dilakukan dengan baik, kalau prasana, dinamika lain yang menjadikan seseorang tersangka atau bukan, juga berjalan dengan baik.

Mungkin, hanya mungkin, mereka yang dikebiri, merasakan penyesalan dan bisa melihat kebaikan. Mungkin. []

KORAN JAKARTA, 14 Mei 2016

Arswendo Atmowiloto | Budayawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar