Ya, isu ini selalu hadir dan hadir disaat bulan desember, bahkan hampir tiap tahun selalu menjadi persoalan yang tidak berujung. bahkan jauh sebelumnya sebenarnya masalah ini sudah pernah dibahas dan dikaji oleh beberapa narasumber baik dari da'i, tokoh agama, atau pengamat. Entahlah, benar atau salah tapi setidaknya permasalah tsb cukup mengusik. Berikut sebagai gambaran saja, kami kutipan tulisan salahtu tokoh yang pernah menulis tentang permasalahan tersebut.
Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
KASUS "Fatwa Natal" dari Majelis Ulama Indonesia ternyata menghe�bohkan
juga. Lembaga itu didesak agar "mencabut peredaran" fatwa yang melarang
kaum muslimin untuk menghadiri perayaan keagamaan golongan agama lain. Ini
sungguh merepotkan, hingga orang sesabar dan sebaik Buya Hamka sampai
meletakkan jabatan sebagai ketua umum MUI.
Emosi pun mudah terganggu mendengarnya, kemarahan gampang terpancing, dan
kesadaran lalu hilang di hadapannya: yang tinggal cuma sumpah serapah.
Padahal, masalahnya kompleks. Sebagai kumpulannya para ulama, bolehkah MUI
menggunakan terminologi dan pengertian yang lain dari apa yang diikuti para
ulama umumnya? Kalau tidak boleh, bukankah sudah logis kalau MUI
mengeluarkan fatwa seperti itu, karena memang masih demikianlah pengertian
para ulama sendiri? Kalau boleh, lalu terminologi dan pengertian apakah
yang harus dipergunakan oleh MUI?
Jadi, ternyata pangkal persoalan belum ditemukan pemecahannya. Ia
me�nyangkut penetapan wewenang membuat penafsiran kembali banyak prinsip
keagamaan yang sudah diterima sebagai bagian inheren dari sistem berpikir
keagamaan kaum muslimin.
Lembaga seperti MUI, yang memang dibuat hanya sekadar sebagai penghu�bung
antara pemerintah dan umat pemeluk agama Islam (itu pun yang masih merasa
memerlukan kontak ke luar), sudah tentu sangat gegabah untuk diha�rapkan
dapat berfungsi demikian. Ia hanyalah sebuah pusat informasi yang
mem�berikan keterangan tentang umat kepada pemerintah dan maksud pemerintah
kepada kaum muslimin. Tidak lebih dari itu. Kalau lebih, mengapa ia
dirumuskan sebagai "tidak bersifat operatif dan tidak memiliki jenjang
vertikal dengan Majelis-majelis Ulama di daerah? Kalau ia dikehendaki mampu
merumuskan sendiri pedoman pengambilan keputusan atas nama umat Islam,
mengapakah bukan tokoh-tokoh puncak tiap organisasi Islam yang dijadikan
"perwakilan" di dalamnya?
Main Mutlak-mutlakan
Itu tadi tentang pangkal persoalannya: tidak jelasnya status keputusan yang
dikeluarkan MUI, di mana titik pijak berpikirnya, dan kepada siapakah ia
selalu harus berbicara (supaya jangan selalu babak belur dicaci maki pihak
yang terkena).
Bagaimana halnya dengan ujung persoalan "Fatwa Natal"? Apakah lalu akan
keluar fatwa tidak boleh pacaran dengan gadis beragama lain, lalu fatwa
sama sekali tidak boleh pacaran? Apakah menganggukkan kepala kalau bertemu
gadis juga dimasukkan ke dalam kategori pacaran? Bagaimana pula tersenyum
(baik malu-malu ataupun penuh harapan)? Bolehkah, nanti anak saya
bersekolah satu bangku dengan murid lain yang beragama Budha? Bagaimana
kalau ada tamu Hindu, haruskah saya banting pecahkan gelas bekas ia meneguk
minuman yang saya suguhkan (walaupun mungkin gelas pinjam dari orang lain)?
Dan seterus�nya, dan seterusnya.
Kalau tidak ada keinginan menetapkan ujung persoalannya, jangan-jangan
nanti kita tidak boleh membiarkan orang Kristen naik taksi yang di kacanya
tertulis kaligrafi Arab berbunyi Bismillahirrahmanirrahim. Alangkah
pengapnya udara kehidupan kita semua, kalau sampai demikian!
Tetapi, mencari ujung itu juga tidak mudah, karena ia berangkat dari
seperang�kat postulat yang main mutlak-mutlakan dalam pemikiran keagamaan
kita. Yang celaka kalau pemeluk agama-agama lain juga bersikap eksklusif
seperti itu. Salah-salah, si muslim nakal bisa mengalami nasib sial: sudah
mencuri-curi perginya melihat perayaan Natal (takut dimarahi MUI), sesampai
di tempat perayaan itu diusir oleh penjaga pintu pula.
Karenanya, mengapakah tidak kita mulai saja mengusulkan batasan yang jelas
tentang wilayah "kajian" (atau keputusan, atau pertimbangan, atau entah apa
lagi) yang baik dipegangi oleh MUI? Mengapakah tidak masalah-masalah dasar
yang dihadapi bangsa saja. Bagaimana merumuskan kemiskinan dari sudut
pandangan agama, bagaimana mendorong penanganan masalah itu menurut
pandangan aga�ma, bagaimana meletakkan kedudukan upaya penanganan
kemiskinan (haram, halal, mubah, makruh, sunahkah?) oleh berbagai lembaga
di bawah? Bagaimana pula kaum muslimin seyogianya bersikap terhadap
ketidakadilan, terhadap ke�bodohan? Jawabannya tentulah harus terperinci
dan konkret, jangan cuma sitiran satu dua hadis tentang kewajiban belajar
hingga ke liang kubur saja.
Nah, kapankah akan ada kejelasan tentang ujung dan pangkal kasus "Fatwa
Natal", yang juga berarti ujung dan pangkal MUI sendiri?
TEMPO, 30 Mei 1981
Tidak ada komentar:
Posting Komentar