Selasa, 28 April 2009

7 Langkah Cegah Penyebaran Flu Babi


Ada tujuh langkah yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan dalam mewaspadai dan mencegah penyebaran Virus H1N1 atau Flu Babi (Swine Flu).

Demikian dikatakan dalam surat edaran dari Menteri Kesehatan RI, Siti Fadilah Supari yang dibacakan langsung oleh Direktur Utama Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, Prof Dr dr Cissy RS Prawira SpA(K) MSc, di Ruang Pers RS Hasan Sadikin Bandung, Selasa.

Tujuh langkah tersebut ialah pertama, sudah terpasangnya thermal scanner (alat pendeteksi suhu tubuh) di terminal kedatangan bandara internasional, kedua, mengaktifkan kembali sekitar 80 sentinel untuk surveillance ILI dan Pneumonia baik dalam bentuk klinik atau virologi.

Ketiga, menyiapkan obat-obatan yang berhubungan dengan penaggulangan Flu Babi yang pada dasarnya adalh Oseltamivir yang sama untuk H5N1 (virus Flu Burung), keempat menyiapakan 100 rumah sakit rujukan yang sudah ada dengan kemampuan menangani kasus Flu Babi.

Kelima menyiapkan kemampuan laboratorium untuk pemeriksaan H1N1 (virus Flu Babi) di berbagai Laboratorium Flu Burung yang sudah ada, keenam, menyebarluaskan informasi ke masyarkat luas dan menyiagakan kesehatan melalui desa siaga.

Terakhir, simulasi penanggulangan Pandemi Influenza yang baru dilakukan minggu lalu di Makasar juga merupakan upaya nyata persiapan pemerintah dalam menghadapi berbagai kemungkinan Kejadian Luar Biasa (KLB) atau Public health Emergency Internasional Concern (PHEIC) seperti Flu Babi.

Menurut Cissy, virus H5N1 jauh lebih berbahaya daripada virus H1N1, terutama di Indonesia (jika dilihat dari angka kematianya).

Dikatakannya, kemungkinan virus H1N1 tidak akan mampu hidup di daerah tropis seperti Indonesia, sedangkan H1N1 biasanya hidup di daerah empat musim (kecuali pada saat musim semi dan panas).

sumber: kompas.com

Senin, 13 April 2009

Pemilu 2009, Bukti Sunnatullah Sejarah

Oleh: Prof. Dr. Achmad Mubarok MA

Sejarah kan bisa dirancang, tetapi sejarah juga punya hukum (sunnatullah) nya sendiri. Banyak peristiwa kecil bisa menjadi pemicu lahirnya sejarah besar (positip), dan tak jarang usaha besar yang dirancang secara serius justeru melahirkan peristiwa besar yang menghancurkan (negatip). Salah satu bunyi kaidah sunnatullah dalam sejarah adalah

1. bahwa kejujuran (agenda positip) akan mendatangkan keberkahan Allah SWT ,meski harus melalui liku-liku kepahitan.

2. Sebaliknya kecurangan (agenda buruk yang tersembunyi) akan menjerumuskan mereka kepada kesulitan, jauh dari apa yang diagendakan.

Pada pilpres 2004, persyaratan pilpres hanya 2,5 %, sehingga SBY sebagai pendatang baru,calon dari partai baru dapat ikut berlaga di panggung pilpres dan menang. Undang-undang itu direfisi DPR, dan setelah melalui liku2 perdebatan, persyaratan itu dinaikkan menjadi 15 %.

Menjelang Pemilu 2009, peta politik kedepan dibayang-bayang orang DPR. Ada dua partai besar di DPR, Golkar dan PDIP. Juga terbayang SBY adalah kandidat terpopuler untukPresiden mendatang. Timbullah agenda negatip dari dua partai besar itu,yaitu ingin menyandera SBY agar tidak bisa lolos menjadi calon presiden,dengan menaikkan angka persyaratan menjadi 35 % . Mereka berfikir bahwa Partai Demokrat pada pilleg 2009 paling-paling naik menjadi 10%. Kalau toh SBY harus dicalonkan, tapi yang mencalonkan bukan Partai Demokrat. Implikasinya sudah terbayang siapa-siapa yang mau duduk di kabinet. Tawar menawar angka itu luar biasa alotnya.

Menjelang hari pengesahan di DPR, saya bersama ketua Fraksi (Syarif Hasan) berkunjung ke rumah Pak JK, saya mengatakan bahwa angka 20 -25% itu terlalu tinggi. Angka 15 % saja itu artinya telah dinaikkan 600%. Tetapi pak JK bilang,ini demi stabilitas bangsa, supaya jangan terlalu banyak capres karena jika pada angka 15%,nanti ada capres yang bisa membeli partai-partai. . Argumen itu nampaknya logis, tetapi saya merasakan bahwa dibalik angka 20-25% itu ada agenda buruk, yaitu menghalangi munculnya kandidat,dan bahkan menyandra SBY.

Ketika hal ini disampaikan kepada pak SBY, beliau secara terbuka mengatakan. Saya sih tidak ada persoalan dengan angka 2,5, 15, 20 atau bahkan 35 %. Tetapi yang tidak etis menurut saya, UU yang menyebut angka 15% saja kan belum pernah digunakan, kok tiba-tiba ada gagasan mendadak menjadi 35% yang kemudian turun menjadi 20 %. Mestinya UU itu dirancang untuk masa depan yang panjang, bukan untuk merespond keadaan dadakan.

Tak disangka, sandra angka 20 % justeru memacu semangat demokrat. Target 15 % ditingkatkan menjadi 20-25%. Konsolidasi dilakukan sampai ke seluruh pelosok. Kartu Tanda Anggauta ditingkatkan, dari 10 juta menjadi 25 juta. Seluruh potensi diberdayakan untuk menyesuaikan persyaratan baru itu. Serangan udara melalui iklan, maupun serangan darat melalui komunikasi langsung oleh caleg2,bahkan zikir dilaksanakan di berbagai tempat termasuk di Cikeas. Ada lima penghafal Qur�an (hafidz) dari Jateng, yang tanpa meminta biaya berkeliling Jawa, berhenti di setiap kabupaten untuk mengkhatamkan al Qur`an disitu, terakhir khataman di masjid Baiturrahim istana, tanpa publikasi.Pak SBY sendiri oleh para kyai dianjurkan untuk banyak membaca hasbunalloh wa ni`mal wakil, yang artinya hanya kepada Alloh kita mohon dibecking, dan jangan terlalu terpaku oleh hitungan matematis..

Nah hasil Pemilu 2009 ternyata menjungkir balikkan semua agenda tersembunyi. Demokrat leading, SBY bersyukur, PDI harus ngetung ulang kekuatan, Gerindera sibuk mencari kambing hitam, Golkar yang sudah terlanjur memanfaatkan issue 2,5 % dengan berbagai sesumbar, mau tidak mau harus realistis mendekat ke Demokrat kembali. Dan Demokrat memang tetap membuka pintu sepanjang sportifitas dijunjung tinggi.

Pak SBY memang secara sadar memimpin dengan soft power leadership, dalam wujud berpolitik secara santun, bersih, dan mengalah. Ternyata mengalah bukan kalah,karena hanya orang kuat yang bisa mengalah. Baru sekarang diakui bahwa mengalahnya SBY adalah satu kecerdasan. Bayangkan, SBY langsung menegur wakil Ketua Umum Partai Demokrat melalui konferensi Pers tentang issue 2,5 %, demi untuk memadamkan kebakaran politik, padahal sesungguhnya teguran itu cukup dilakukan oleh ketua umum partai. Amin Rais mengomentari bahwa SBY telah merendahkan diri sendiri karena menegur langsung Mubarok. Amin Rais tidak tahu bahwa hanya orang kuat yang bisa merendahkan diri. Merendahkan diri bukan rendah diri.

Mudah-mudahan soft power akan bisa mengubah budaya politik Indonesia. Tetesan Air yang lembut ternyata bisa melubangi batu yang keras. Tsunami di Aceh yang meluluh lantakkan semua yang keras ternyata berupa air yang soft. Semoga.

sumber, http://mubarok- institute. blogspot. com

Selasa, 07 April 2009

Waduh! Utang RI Meningkat Rp 80 Triliun per Tahun


Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sepanjang tahun 2005-2008, peningkatan utang negara naik rata-rata Rp 80 triliun per tahun. Angka penambahan jumlah utang rata-rata ini mengalahkan utang pada era Orde Baru, yakni Rp 1.500 triliun dalam jangka 32 tahun atau sekitar Rp 46,875 triliun per tahun.

Hal tersebut disampaikan Ketua Koalisi Anti-Utang Dani Setiawan melalui siaran resminya kepada pers di Jakarta, Rabu (8/4). "Transaksi utang luar negeri memaksa Indonesia untuk terus membayar pinjaman luar negerinya meskipun sumber keuangan negara terbatas. Saat ini Indonesia tengah berada dalam posisi keterjebakan utang (debt trap) yang sangat parah," kata Dani.

Ia mengatakan, sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri menunjukkan trend yang meningkat. Pada awal tahun 2005 sampai dengan September 2008 total pembayaran bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp 277 triliun. Sementara total penarikan pinjaman luar negeri baru dari tahun 2005 sampai dengan September 2008 sebesar Rp 101 ,9 triliun.

Outstanding utang luar negeri Indonesia sejak tahun 2004 hingga 2009 juga terus meningkat dari Rp 1.275 triliun menjadi Rp 1.667 triliun. Selain itu, total utang dalam negeri juga meningkat signifikan dari Rp 662 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp 920 triliun pada tahun 2009. "Artinya, pemerintah berhasil membawa Indonesia kembali menjadi negara pengutang dengan kenaikan Rp 392 triliun dalam kurun waktu kurang lima tahun," ujarnya.

Sebelumnya, fakta-fakta serta temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantas Korupsi menyatakan bahwa sejak 1967 hingga 2005 pemerintah baru memanfaatkan utang negara sebanyak 44 persen. Sisanya tidak pernah dimanfaatkan oleh pemerintah untuk pembangunan. "Transaksi utang luar negeri selama ini justru membebani. Indonesia selama ini dipaksa terus membayar utang," tuturnya.

Ia menilai, pemerintah harus menggenjot upaya untuk mengurangi beban utang dengan cara menegosiasikan penghapusan utang kepada pihak kreditor. Langkah tersebut harus diikuti dengan komitmen untuk menghentikan ketergantungan terhadap utang luar negeri baru.

Ia mencontohkan sejumlah negara, seperti Nigeria, Argentina, Ekuador, dan Pakistan, telah mengambil langkah-langkah penghapusan utang.

sumber : kompas.com